HADIS TARBAWI 1
Tentang
Tingkah Laku Terpuji, Dosa-Dosa Besar, dan Etos Kerja
Oleh:
ARHAM JUNAIDI FIRMAN
412.405
Dosen Pembimbing :
Dra. Delyati BN., MA.,
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) – D
FAKULTAS TARBIYAH
ISNTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dengan hal itu penulis telah dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam kita
ucapkan untuk junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat
manusia ke jalan yang diridhai Allah.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat
sederhana, namun harapan penulis tidak mengurangi minat pembaca untuk membaca
makalah ini. Penulisan makalah ini dapat diselesaikan atas usaha keras penulis
dalam mencari dan mengumpulkan berbagai sumber, yang kebetulan perpustakaan
Institut dan perpustakaan Fakultas kita pada saat pembuatan makalah ini belum
berjalan seperti yang kita harapkan. Disamping itu, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan
kepada penulis serta teman-teman yang lainnya.
Selanjutnya, walaupun makalah ini telah dapat diselesaikan dengan
baik, akan tetapi sangat banyak sekali kekurangan dan kelemahan didalamnya yang
penulis rasakan. Oleh sebab itu, penulis sangat berharap kepada Dosen
pembimbing agar memberikan sumbangsih pemikirannya dalam bentuk koreksi, kritik
dan saran demi kesempurnaan tugas ini dan begitu juga tugas-tugas yang lainnya
untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian setiap tugas yang Bapak/Ibu
berikan akan selalu sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan dalam
perkuliahan.
Padang, 12 Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar.................................................................................................
i
Daftar isi...........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
A.
Latar
Belakang..........................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah......................................................................................
1
C.
Maksud dan Tujuan...................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
2
A.
Tingkah Laku Terpuji................................................................................
2
1.
Pentingnya Kejujuran.........................................................................
2
2.
Kejujuran Membawa Kebaikan..........................................................
4
3.
Orang Yang Jujur Mendapat
Pertolongan Allah................................
6
B.
Dosa-Dosa Besar.......................................................................................
8
1.
Menyekutukan Tuhan.........................................................................
8
2.
Tujuh Macam Dosa Besar..................................................................
9
C.
Etos Kerja..................................................................................................
14
1.
Pekerjaan Yang Paling Baik...............................................................
14
2.
Larangan Meminta-Minta...................................................................
15
3.
Mukmin Yang Kuat Mendapat
Pujian...............................................
17
BAB III PENUTUP.......................................................................................
19
A.
Kesimpulan................................................................................................
19
B. Saran..........................................................................................................
19
Daftar Pustaka...................................................................................................
20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Moral
atau akhlak dari zaman dahulu hingga sekarang masih tetap merupakan tema yang
sangat menarik untuk dibicarakan, tak pernah larut dalam pembicaraan para ulama
dan umat, karena berbicara tentang akhlak berarti berbicara tentang nilai,
penilaian tentang benar dan salah, baik dan buruk, bermoral dan tidak bermoral.
Salah satu tugas utama Nabi Muhammad SAW. ialah untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Oleh karena itu, sebagian dari ajaran Islam adalah mengenai akhlak
yang mulia yang harus direalisasikan dalam segala segi kehidupan oleh
pemeluknya.
Berbicara
mengenai akhlak mulia tentunya kita sebagai manusia harus memperhatikan akhlak
terhadap Allah dan sesama. Akhlak terhadap Allah berupa bagaimana cara dan
usaha kita untuk merealisasikan keimanan kita hanya kepada Allah bukan kepada
yang lain, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan
akhlak terhadap sesama berupa bagaimana cara kita menjalin hubungan yang baik
di masyarakat, dan di tempat kerja. Dengan adanya akhlak yang baik di tempat
kerja itu akan membantu kita untuk lebih semangat lagi dalam bekerja.
Berkaitan
dengan hal tersebut penulis akan membahas tentang “Tingkah Laku Terpuji,
Dosa-Dosa Besar, dan Etos Kerja” agar kita mampu memahami dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana bentuk-bentuk tingkah laku terpuji itu?
2.
Apa saja dosa-dosa besar itu?
3.
Apa etos kerja itu?
C.
Maksud dan Tujuan
1.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk tingkah laku terpuji
2.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk dosa-dosa besar
3.
Untuk mengetahui tentang etos kerja
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tingkah Laku Terpuji
1.
Pentingnya Kejujuran
Jujur adalah
memberitahukan atau menuturkan sesuatu dengan sebenarnya. Dalam kehidupan
sehari-hari jujur diterjemahkan sebagai sikap terbuka, yakni tidak ada sesuatu
yang perlu dirahasiakan atau ditutup-tutupi. Jujur juga berarti menempatkan
sesuatu pada tempat yang selayaknya sesuai dengan tuntutan.[1] Rasulullah
SAW. bersabda :
وَعَنْ أَبِىْ
أُمَا مَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ : أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ
تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ
تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ
حَسَّنَ خُلُقَهُ. (رواه أبوداود بإسنا صحيح)
Artinya : “Abu Umamah Al-Bahili r.a. berkata bahwa
Rasulullah SAW. bersabda,”saya dapat menjamin suatu rumah di kebun surga untuk
orang yang meniggalkan perdebatan meskipun ia benar. Dan menjamin suatu rumah
di pertengahan surga bagi orang yang tidak berdusta meskipun bergurau. Dan
menjamin satu rumah di bagian tertinggi dari surga bagi orang yang baik budi
pekertinya.” (H.R. Abu Dawud dengan
sanad yang sahih).
Dalam
hadis ini, diterangkan 3 macam perilaku penting yang mendapatkan jaminan surga
dari Rasulullah bagi mereka yang memilikinya. Tentu saja ketiga perilaku ini harus
diiringi berbagai kewajiban lainnya yang telah ditentukan Islam.[2]
Ketiga perilaku tersebut adalah :
a.
Orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar.
Berdebat
atau berbantah-bantahan adalah suatu pernyataan dengan maksud untuk menjadikan
orang lain memahami suatu pendapat atau mengurangi kewibawaan lawan debat
dengan cara mencela ucapannya sekalipun orang yang mendebatnya itu tidak tahu
persis permasalahan, karena kebodohannya. Dan yang lebih ditonjolkan dalam
berdebat adalah keegoannya sendiri sehingga ia berusaha mengalahkan lawan
debatnya dengan berbagai cara.
Adapun
dalam menghadapi orang yang selalu ingin menang dalam setiap perdebatan, Nabi
menganjurkan umatnya untuk meninggalkannya, dan membiarkannya beranggapan bahwa
dia menang dalam perdebatan tersebut. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu,
seperti ketika berdebat dengan orang-orang kafir tentang aqidah, kita harus
mempertahankan pendapat kita dengan menggunakan berbagai cara supaya mereka
menyadari bahwa aqidah kita memang benar dan mereka salah.
b.
Orang yang tidak berdusta meskipun bergurau.
Berdusta
adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dusta sangat
dilarang dalam islam. Karena selain merugikan orang lain, juga merugikan diri
sendiri. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mencela orang yang suka berdusta,
apalagi terhadap mereka yang mendustakan Allah. Seperti firman-nya dalam Q.S.
Al-Ahzab ayat 70 - 71 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #YÏy ÇÐÉÈ ôxÎ=óÁã öNä3s9 ö/ä3n=»yJôãr& öÏÿøótur öNä3s9 öNä3t/qçRè 3
`tBur ÆìÏÜã ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù y$sù #·öqsù $¸JÏàtã ÇÐÊÈ
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang
benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia
Telah mendapat kemenangan yang besar.[3]
Dalam bercanda, seseorang biasanya suka
melebih-lebihkan candaannya untuk mengundang tawa orang yang diajak bercanda.[4]
Hal ini membuatnya merasa puas. Maka dibuatlah gurauan dengan berbagai cara
walaupun harus berbohong. Hal seperti itu, tidaklah dibenarkan dalam Islam
karena apapun alasannya berbohong merupakan perbuatan yang dilarang.
c.
Orang yang baik budi
pekertinya.
Dalam membina akhlak terpuji, Rasulullah SAW.
memberikan suri teladan bukan sekedar memberikan anjuran atau perintah kepada
umatnya. Itulah salah satu sebab keberhasilan dakwah Rasulullah SAW. Beliau
memiliki akhlak yang sangat terpuji yang dikagumi kawan maupun lawannya.
Barang siapa yang ingin berakhlak mulia, ia
harus berusaha meniru akhlak Rasulullah SAW. yakni menuruti segala petunjuk
yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnahnya. Sifat orang yang berakhlak
mulia, diantaranya adalah bermuka manis, berusaha untuk membantu orang lain
dalam perkara yang baik, serta menjaga diri dari perbuatan jahat. Orang yang
memiliki sifat seperti itu, selain dijanjikan surga sebagaimana dinyatakan
dalam hadis diatas, juga dianggap sebagai orang yang paling baik diantara
sesama manusia.
2.
Kejujuran Membawa
Kebajikan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللُه
عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى اِلَى
الْبِرِّ وَاِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَاِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صَدِّيْقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى اِلَى الْفُجُوْرِ
وَإِنَّ الْفُجُوْرَيَهْدِى اِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى
يُكْتَبَ غِنْدَاللهِ كَذَّابًا. (متفق عليه)
Artinya : “Dari Abdullah
bin Mas’ud, dari Nabi SAW., beliau bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu
membawa kepada kebaikan (ketaatan) dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan
seseorang membiasakan dirinya berkata jujur sehingga ia dicatat di sisi Allah
sebagai orang yang jujur (sidiq). Dan dusta membawa kepada kemaksiatan,
sedangkan kemaksiatan membawa ke neraka. Dan seseorang suka berdusta hingga
dicatat di sisi Allah sebagai pendusta. (Muttafaq ‘Alaih).[5]
Rasulullah memerintahkan umatnya agar berlaku
jujur, karena kejujuran akan mengantarkan seseorang pada kebaikan-kebaikan.
Demikian pula sebaliknya, ketidakjujuran (bohong) akan mengantarkan pelakunya
pada keburukan-keburukan.[6]
Sebagaimana sabda Rasulullah :
حَدِ يْثُ ابْنُ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَجُلاً
أَصَابَ مِنِ امْرَأَةٍ قُبْلَةً. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَأَخْبَرَهُ .فَأَنْزَلَ اللهُ~ أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا
مِنَ اللَّيْلِ، إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ~ فَقَلَ الرَّجُلُ:
يَا رَسُولَ اللهِ! أَلِيْ هَذَا؟ قَالَ : ((لِجَمِيْعِ أُمَّتِيْ كُلِّهِمْ))
Artinya : Ibn Mas’ud r.a.
berkata : Seorang terlanjur mencium wanita ajnabiyah, lalu ia datang kepada
Nabi SAW. Untuk minta hukuman atas perbuatannya itu, tiba-tiba Allah menurunkan
ayat; Tegakkanlah shalat pada waktu pagi dan sore dan sebagian waktu malam,
sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus sayyi’at (dosa). Lalu orang itu
bertanya : Ya Rasulullah, apakah ini khusus untukku saja ? Jawab Nabi SAW :
Bahkan untuk semua umatku. (Bukhari dan Muslim)[7]
Jujur merupakan kunci kepercayaan seseorang.
Selama seseorang masih bersikap jujur maka amanah senantiasa dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Allah SWT berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat 119 :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qçRqä.ur yìtB úüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÊÊÒÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
Hendaklah kalian bersama orang-orang yang
benar, yakni benar dalam beriman, janji, dan perkataan.[8]
Oleh karena itu, Islam benar-benar menekankan agar sifat jujur dijadikan
sebagai sikap dan akhlak setiap muslim. Orang yang selalu jujur akan dicatat
Allah sebagai orang yang jujur. Sebaliknya, kebohongan akan mendorong seseorang
melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Islam melarang umatnya bersikap dan
bertutur kata bohong. Orang Islam harus menjauhi segala bentuk kebohongan.
Islam sangat mencela orang-orang yang tidak berlaku jujur. Allah berfirman
dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 10 :
@ÏFè% tbqß¹º§sø:$# ÇÊÉÈ
Artinya : Terkutuklah orang-orang yang
banyak berdusta.
3.
Orang Yang Jujur Mendapat
Pertolongan Allah
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا
أَدَى اللهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَ فَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ.
(رواه البخارى وابن ماجه وغيرهما)
Artinya : “Abu Hurairah
r.a., berkata Rasulullah SAW., bersabda, “Barang siapa yang menggunakan harta
orang lain (untuk berdagang) dan dia ingin mengembalikannya, maka Allah akan
(membantu) mengembalikannya. Dan barang siapa mengambilnya dengan maksud untuk
merusaknya, maka Allah pun akan merusaknya.” (H.R. Bukhari, Ibnu
Majah, dan selainnya).
Hadis ini mengingatkan umat Islam agar
berhati-hati dengan harta orang lain. Sering dalam kehidupan seseorang terdesak
dan terpaksa meminjam milik orang lain. Tetapi, peminjam tidak boleh berniat
buruk terhadap barang yang dipinjamkan kepadanya, yaitu dengan maksud tidak menjaga
dengan baik dan mengembalikannya. Barang pinjaman adalah amanah yang harus
dijaga dan harus dikembalikan kepada pemiliknya.[9]
Dalam kehidupan masyarakat, ada sebagian orang
yang suka meminjam modal atau barang kepada orang lain untuk digunakan sebagai
penunjang usahanya. Hal itu dibolehkan dalam Islam dan Allah akan menolong
mereka kalau mereka berniat untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan
berniat untuk mengembalikan kepada pemiliknya.[10]
Oleh karena itu, setiap peminjam modal harus
ingat bahwa harta tersebut adalah amanat dan ia harus berusaha sekuat tenaga
untuk menjaga amanat itu dengan cara mengembalikan modal yang dipinjamnya pada
waktu yang telah disepakati. Jika ia berbuat demikian, pemilik modal akan
semakin mempercayainya. Sebaliknya, apabila dia bermaksud berkhianat, yakni
meminjam barang atau harta tersebut untuk dirusak atau sengaja tidak akan
mengembalikannya, Allah SWT. akan membalas perbuatan zalim tersebut. Allah SWT berfirman
dalam Q.S. Ibrahim ayat 42 :
wur útù|¡óss? ©!$# ¸xÏÿ»xî $£Jtã ã@yJ÷èt cqßJÎ=»©à9$# 4
$yJ¯RÎ) öNèdã½jzxsã 5QöquÏ9 ßÈyô±n@ ÏmÏù ã»|Áö/F{$# ÇÍËÈ
Artinya : “dan janganlah
sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat
oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai
hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.
Selain itu, bagi mereka yang memiliki tabiat
jelek seperti itu, tidak akan pernah lagi dipercaya oleh orang lain. Hal itu
menunjukkan bahwa penunaian suatu amanah sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Adapun khianat telah disepakati sebagai perbuatan tercela, baik
dalam pandangan Allah maupun pandangan manusia. Hal itu karena khianat akan
merugikan diri si pengkhianat sendiri dan orang lain. Khianat terbagi dua,
yaitu khianat kepada Khalik dan khianat kepada makhluk. Berkhianat kepada Allah
adalah meninggalkan perintah-Nya dan melaksanakan larangnnya, sedangkan
berkhianat kepada Rasul-Nya adalah meninggalkan Sunnahnya. Adapun yang dimaksud
menghianati sesama manusia adalah mengingkari atau meninggalkan suatu
kesepakatan atau amanat yang telah diterima dan disepakati bersama atau mungkin
melaksanakannya, tetapi tidak sempurna.[11]
Dengan demikian, setiap orang berpotensi untuk
menjadi pengkhianat bahkan mungkin sekarang ini, kita termasuk para
pengkhianat, baik kepada Allah, Rasulullah, maupun sesama manusia. Setiap kali
seorang hamba Allah berdusta, maka sebuah noda hitam akan tumbuh dihatinya,
sampai seluruh hatinya menjadi hitam. Kemudian, ia ditulis di sisi Allah
termasuk diantara para pendusta.[12]
B. Dosa-Dosa Besar
1.
Syirik (Menyekutukan
Allah)
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْكَبَائِرَ قَالَ : الإِشْرَاكُ بِالله، وَعُقُوْقُ
الْوَالِدَيْنِ، وَقَتْلَ النَّفْسِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ. (رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Anas r.a.,
berkata, Rasulullah ditanya tentang dosa-dosa yang paling besar, beliau
menjawab : “Syirik (mempersekutukan Allah), durhaka terhadap kedua orang tua,
membunuh jiwa, dan saksi palsu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).[13]
Menurut bahasa, syirik berarti persekutuan atau bagian,
sedangkan menurut istilah agama adalah mempersekutukan Allah SWT. dengan selain
Allah, memuja-muja dan menyembah makhluk-Nya seperti, pada batu besar, kayu,
matahari, bulan, nabi, kyai (alim ulama), bintang, raja, dan lain sebagainya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syirik adalah kufur atau jenis kekufuran.
Allah
tidaklah akan mengampuni pelakunya kecuali dengan taubat yang diwujudkan dengan
melafazhkan 2 kalimat syahadat. Adapun orang-orang yang meninggal di atas
kesyirikkan, maka orang tersebut akan kekal dalam neraka.[14] Allah
ta’ala berfirman dalam Q.S. An-Nisa ayat 48 :
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4
`tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã ÇÍÑÈ
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Perilaku
syirik dilarang karena memberikan pengaruh buruk terhadap perilakunya, yaitu :
a.
Perilaku ini akan merendahkan kedudukan Allah yang maha
tinggi, mulia dan perkasa.
b.
Perilaku ini merendahkan derajat manusia pelaku syirik
itu sendiri, apalagi bila sembahannya itu tidak lebih mulia dari dirinya
sendiri. Padahal Allah menyatakan manusia adalah makhluk mulia.
c.
Menambah kesesatan manusia.[15]
2.
Tujuh Macam Dosa Besar
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قيل
يَا رَسُولَ اللهُ وَمَاهُنَّ قَالَ : الشِّرْكُ بِالله، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ
النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ اِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ،
وَأَكْلُ الرِّبَا، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَا
فِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ. (رواه متفق عليه)
Artinya : “Abu Hurairah
berkata, bahwa Nabi SAW. bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang dapat membinasakan
atau dapat menyebabkan dirimu masuk neraka, atau dapat menyebabkan dirimu
dilaknati Allah.” Para sahabat kemudian bertanya, “Apakah itu ya Rasulullah ?”
Lalu Rasulullah menjawab, “Menyekutukan Allah, melakukan perbuatan sihir, membunuh manusia yang diharamkan
Allah melainkan dengan cara yang hak, memakan harta anak yatim, memakan harta
riba, lari dari medan pertempuran, dan memfitnah perempuan-perempuan beriman
yang baik yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya yang sedang lalai.” (H.R.
Muttafaq ‘Alaih).
Hadis ini juga menjelaskan tentang tujuh
perbuatan yang mebinasakan. Dari tujuh perbuatan ini, satu diantaranya telah
dijelaskan pada hadis sebelumnya. Dalam hadis ini disebutkan perbuatan lain
yang juga masuk dalam kategori dosa besar, yaitu :
a.
Berbuat Sihir
Sihir diharamkan dalam agama. Sihir adalah
tata cara yang bertujuan merusak rumah tangga orang lain atau menghancurkan
orang lain dengan jalan meminta bantuan kepada setan. Hal ini termasuk
perbuatan terlarang dan dosa besar.[16]
Tidak diragukan lagi bahwa sihir termasuk dosa
besar dan hukumannya pun sangat berat, yakni dipenggal dengan pedang,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
حَدَّالسَّاحِرِضَرَبَهُ بِالسَّيْفِ (رواه
الترمذى)
Artinya : “Hukuman tukang
sihir itu ialah dipenggal dengan pedang.” (H.R. Tirmidzi).
Sebagian ulama menyatakan keharaman sihir ini
tidak hanya pada pelakunya, tetapi juga mempelajari dan mengajarkannya.
Sedangkan sebagian lagi keharaman itu hanya pada melakukannya. Mempelajarinya
tidak diharamkan, bahkan boleh untuk mengetahui dan menolaknya.[17]
b.
Membunuh Jiwa Manusia
Maksud membunuh dalam pembahasan ini adalah
membunuh jiwa yang diharamkan tanpa hak dengan sengaja. Orang yang berbuat
seperti itu akan di masukkan ke neraka jahanam dan kekal didalamnya. Dosa ini
termasuk dosa yang dapat mengancam keamanan, menyebarkan ketakutan, melemahkan
sendi-sendi bermasyarakat dan memutuskan jaringan-jaringan persaudaraan.[18]
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 93 :
`tBur ö@çFø)t $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJÏàtã ÇÒÌÈ
Artinya : “Barang siapa
yang mebunuh orang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka
jahanam, ia kekal didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta
menyediakan azab yang besar baginya.”
Dalam hadis lain, dinyatakan bahwa membunuh
jiwa tanpa hak menyebabkan pelakunya pada kekufuran.
لَاتَرْجُوْ بَعْدِيْ كَفَّارًا يَضْرِبُ
بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ. (رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Janganlah kamu
menjadikan kafir sepeniggalku dengan cara kamu membunuh sebagian yang lain.” (H.R.
Bukhari-Muslim)
Sebagaimana halnya perbuatan musyrik, membunuh
orang mukmin dengan sengaja juga termasuk dosa yang kemungkinan besar tidak akan
mendapat ampunan-Nya.
c.
Memakan Harta Riba
Riba menurut bahasa adalah tambahan,
sendangkan menurut syara’ riba diartikan sebagai utang piutang atau pinjam
meminjam uang atau barang yang disertai dengan tambahan bunga. Tindakan ini
termasuk tindakan menzhalimi umat manusia, memakan harta mereka dengan bathil,
memusuhi Allah beserta Rasul-Nya, dan sebagai balasannya ia harus menjalani
kehidupan kekal di neraka.[19]
Islam sangat melarang orang yang memakan harta
riba karena pada dasarnya riba itu melakukan kezaliman terhadap orang lain,
sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Ali Imran ayat 130 :[20]
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB (
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Banyak yang beranggapan bahwa riba itu seperti
jual beli, yakni sama-sama untuk mencari keuntungan. Hal ini tidaklah benar karena
jual beli adalah halal, sedangkan riba diharamkan syara’. Dosa bagi orang yang
melakukan riba sangat besar sekecil apapun bentuk riba tersebut. Ketika di
dunia pun, orang yang berlaku riba walaupun kelihatan memiliki harta berlimpah,
hatinya tidak akan tenteram. Dengan kata lain, mereka mereka memiliki harta
banyak tetapi tidak berkah sehingga serakah dan tidak pernah merasa puas dengan
apa yang didapatkannya.
d.
Memakan Harta Anak Yatim
Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati
ayahnya ketika ia masih kecil atau dengan kata lain ditinggal matu oleh orang
yang menanggung nafkahnya. Dengan demikian, anak kecil yang ditinggal mati oleh
ibunya tidak dikatakan yatim. Ini karena dalam Islam, penanggung jawab untuk
mencari nafkah adalah ayah. Sebutan yang lazim dikalangan masyarakat bagi anak
kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya adalah yatim piatu.
Memakan harta anak yatim dilarang apabila
dilakukan secara zalim, seperti firman-Nya dalam Q.S. An-Nisa ayat 10 :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR (
cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
Artinya : “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api neraka sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”[21]
Islam sangat memperhatikan nasib anak yatim.
Allah akan memberikan pahala yang besar kepada siapa saja yang memelihara anak
yatim. Nabi akan berada di sisi orang yang memelihara anak yatim dan jarak
antara beliau dengannya bagaikan antara dua jari. Selain itu, Allah pun akan
mencukupkan orang yang memelihara anak yatim, dan menjanjikan pahala surga.
Untuk itu beliau bersabda :
اَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فىِ الْجَنًّةِ
هَكَذَا وَاَشَارَبِاُصْبُعَيْهِ السِّيَا بَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ
بَيْنَهُمَا. (رواهبخارى)
Artinya : “aku dan orang
yang memelihara anak yatim dalam surga seperti ini,” setelah itu beliau memberi
isyarat dengan jari[22]
e.
Melarikan Diri dari Perang
Islam mewajibkan umatnya untuk memelihara,
menjaga, mempertahankan, dan membela negaranya. Islam melarang umatnya untuk
berpaling atau melarikan diri dari medan perang. Jika Islam diserang dan
diperangi musuh, umat Islam diwajibkan perang, sebagaimana firman-Nya dalam
Q.S. 22 ayat 39 :
tbÏé& tûïÏ%©#Ï9 cqè=tG»s)ã öNßg¯Rr'Î/ (#qßJÎ=àß 4
¨bÎ)ur ©!$# 4n?tã óOÏdÎóÇtR íÏs)s9 ÇÌÒÈ
Artinya : Telah diizinkan (berperang)
bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan
Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.
Oleh karena itu, orang yang meninggalkan medan
perang (jihad) tanpa alasan yang dapat diterima oleh akal sehat termasuk dosa
besar dan pelakunya akan mendapat azab Allah SWT. Dosa ini berarti merelakan
tanahnya dicaplok, melemahkan sekaligus meruntuhkan keperkasaan agama; berarti
merelakan musuh menumpahkan darah kita, isteri-isteri kita, anak-anak kita, dan
harta kita semua.[23]
f.
Menuduh Wanita yang
Baik-Baik dengan Tuduhan Zina
Perempuan baik-baik dalam Islam adalah seorang
mukminat yang senantiasa taat kepada Allah dan menjaga kehormatannya dari
perbuatan keji (zina). Apabila wanita seperti itu dituduh zina tanpa disertai
syarat yang telah ditetapkan syara’, seperti mendatangkan empat saksi dan
menyaksikan dengan kepala sendiri, maka penuduhnya wajib didera delapan puluh
kali dan kesaksiannya tidak boleh diterima selama-lamanya.
C. Etos Kerja
1.
Pekerjaan Yang Paling Baik
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيِّ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ
وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ. (رواه البخارى وصححه الحكم)
Artinya : “Rifa’ah bin
Rafi’i berkata bahwa Nabi SAW. ditanya, “Apa mata pencaharian yang baik ?” Nabi
menjawab, “Seseorang yang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang
bersih.” (Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim).
Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya
agar berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang
muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharapkan rezeki datang dari langit
tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian, tidak dibenarkan pula terlalu
mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah SWT. dan tidak
mau berdoa kepadanya. Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Naba ayat 11 :
$uZù=yèy_ur u$pk¨]9$# $V©$yètB ÇÊÊÈ
Artinya : “dan kami
jadikan siang untuk mencari penghidupan.”
Ayat diatas menunjukkan bahwa kaum muslimin
yang ingin mencapai kemajuan hendaknya harus bekerja keras. Akan tetapi, rezeki
yang diusahakannya haruslah halal, tidak mengutamakan penghasilan yang banyak
semata, tanpa mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Tentu saja,
pekerjaan apapun tidak di larang selama tidak bertentangan dengan syariat
Islam.
Menurut Imam Al-Ghazali, manusia dalam
hubungannya dengan kehidupan dunia dan akhirat terbagi pada tiga golongan,
yaitu :
a.
Orang-orang yang sukses
atau menang, yakni mereka yang lebih menyibukkan dirinya untuk kehidupan di
akhirat daripada kehidupan di dunia.
b.
Orang-orang yang celaka,
yakni mereka yang lebih menyibukkan dirinya untuk kehidupan di dunia daripada
kehidupan di akhirat.
c.
Orang-orang yang berada di
antara keduanya, yakni mereka yang mau menyeimbangkan antara kehidupan di dunia
dan kehidupan di akhirat.
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, mengutip
pendapat seorang ahli himah, “Para pedagang yang tidak memiliki ketida sifat di
bawah ini, akan menderita kerugian di dunia dan di akhirat,” ketiga sifat itu
adalah :
a.
Mulutnya suci dari bohong,
loghwu (main-main/bergurau) dan sumpah.
b.
Hatinya suci dari
penipuan, khianat, dan iri.
c.
Jiwanya selalu memelihara
shalat Jum’at, shalat berjama’ah, selalu menimba ilmu dan mengutamakan ridha
Allah daripada lainnya.
Menurut Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, orang
yang menginginkan (usaha, harta) yang halal, ia harus memelihara lima perkara,
yaitu :
a.
Tidak menunda kewajiban
terhadap Allah, tidak menghambat apalagi menghalangi kewajibannya sebagai hamba
Allah.
b.
Tidak seorangpun yang
merasa dirugikan atau diganggu akibat usahanya.
c.
Memelihara kehormatan diri
dan keluarga, bukan semata menghimpun harta sebanyak-banyaknya.
d.
Tidak membinasakan
(memaksakan) diri dalam usaha.
e.
Tidak beranggapan bahwa
rezekinya diperoleh dengan usahanya, melainkan datnag langsung dari Allah,
sedangkan bekerja/usaha semata hanya faktor penyebab datangnya rezeki.
2.
Larangan Meminta-Minta
حَدِ يْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَأَنْ
يَغْدُ وَأَحَدُ كُمْ فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَتَصَدّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ
بِهِ مِنَ النَّاسِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَ لَ رَجُلاً أَعْطَاهُ أَوْ
مَنَعَهُ ذَلِكَ فَإِن الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ.
Artinya : “diriwayatkan
dari Abi Hurairah r.a., dia telah berkata : “aku pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda : “Jika sekiranya salah seorang di antara kamu berangkat pada
waktu pagi untuk mencari kayu bakar lalu dia memikulnya di atas pundaknya
kemudian dia bersedekah dengannya dan tidak mengharapkan pemberian dari orang
lain, maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain,
baik orang lain itu memberi kepadanya atau tidak. Sebab tangan yang berada
diatas itu lebih mulia daripada tangan yang berada dibawah. Dan mulailah dengan
memberi nafkah atau mendidik orang yang berada di bawah tanggunganmu terlebih
dahulu.
Hadis diatas menerangkan tentang larangan
(makruh) meminta-minta ke sana kemari, kepada sesama umat manusia. Sebab
memberi adalah lebih baik daripada meminta-minta. Bekerja dengan pekerjaan
kasar yang menghasilkan sesuatu kemudian bersedekah dengan hasil kerja tersebut
adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, walaupun
misalnya hasil dari meminta-minta itu lebih besar.
Islam melarang meminta-minta karena perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukaioleh Allah SWT. Allah telah
menciptakan semesta alam dengan tidak sia-sia. Dia menciptakan sumber daya
dimuka bumi agar dimanfaatkan oleh semua makhluk. Sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. Al-Jumu’ah ayat 10 :
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya : apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.
Sumber daya yang diciptakan-Nya merupakan
sumber daya yang tidak terbatas, sehingga manusia biasa memanfaatkannya dalam
jangka waktu yang tidak terhingga.[24]
Itulah yang menyebabkan adanya larangan meminta-minta. Perbuatan meminta-minta juga merupakan perbuatan yang
menghina diri sendiri karena ia tidak memiliki inisiatif untuk mencari rejeki
yang lebih layak lagi.
3.
Mukmin Yang Kuat Mendapat
Pujian
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ
خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ،
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلاَ تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ
شَيْءٌ، فَلَ تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ
قُلْ: قَدَّرَ اللهُ مَا شَاءَ اللهُ فَعَلَ، فَإِنْ [لَوْ] تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
(أخرجه مسلم)
Artinya : “dari Abu
Hurairah RA, dia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang mukmin yang lemah dan
pada keduanya terdapat kebaikan. Pedulilah terhadap segala yang bermanfaat
bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau bersifat lemah. Dan
jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau berkata : seandainya saya
melakukan ini, niscaya akan terjadi yang demikian. Tetapi katakanlah Allah-lah
yang telah menakdirkan dan apa saja yang Allah telah kehendaki niscaya ia pasti
akan mengerjakan-Nya; karena sesungguhnya kata ‘seandainya’ akan membuka amalan
syetan.” (H.R. Muslim).
Dalam
hadis ini di jelaskan bahwa disenanginya memilih orang-orang yang kuat
dalam beramal, karena dari pekerjaan orang tersebut akan dihasilkan faidah yang
tidak akan dihasilkan dari orang-orang yang lemah. Allah ta’ala berfirman dalam
Q.S. Al-Qashash ayat 26 :
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t çnöÉfø«tGó$# (
cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Artinya : salah seorang dari kedua wanita itu berkata:
"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".[25]
Adapun
orang yang lemah, maka tidak akan tercapai hasil maksimal yang dikehendaki dari
pekrjaannya itu. Tetapi keberadaan iman pada orang tersebut tidak akan
menyebabkan diharamkannya orang itu dari kebaikan; karena iman itu merupakan
asas dari seluruh kebaikan dan keberkahan. Sabda beliau : “pedulilah
terhadap segala hal yang bermanfaat bagimu,” baik dalam urusan-urusan agama
maupun urusan-urusan keduniaan. Diantara manfaat-manfaat terpenting itu adalah
apa yang dikehendaki oleh seseorang dari amalannya yang berupa ketaatan kepada
Allah yang mana di dalam ketaatan tersebut terdapat kebahagiaan yang abadi.
Apabila
seorang hamba berlaku komitmen terhadap penyembahannya kepada Allah, niscaya
Allah akan senantiasa menolongnya untuk tetap komitmen dalam hal tersebut. Komitmennya
yang menjadi sebab tetapnya ia dalam keimanan; dan semakin sempurna ubudiyyah
seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin besar pulalah pertolongan Allah
kepadanya. Doa yang paling bermanfaat adalah meminta tolong kepada Allah untuk
mendapatkan keridhaannya.
Jika
seseorang telah berdoa kepada Allah, meminta kemudahan kepada-Nya atas segala
urusan, namun ia belum mendapatkan jawaban yang zhahir dari permintaannya itu,
kemudian ia menjadi malas dan lemah untuk meneruskan doanya itu kepada Allah.
Tentunya jika menginginkan hasil yang bagus dalam berdoa harus bersabar dan
tidak tergesa-gesa. Bila seseorang telah mencurahkan segala kemampuan dan
usahanya untuk mencapai suatu tujuan dan kemudian ia gagal, hendaklah ia
beriman kepada Qadha (ketentuan) Allah dan jangan berkata seandainya karena itu
akan membuka peluang bagi syetan untuk menjatuhkan manusia pada perbuatan yang
salah. Ia akan menyebabkan manusia terlarut dalam kesedihannya hingga rasa
sabar terhadap ketentuan Allah pun lenyap dari dirinya kemudian ia pun
berandai-andai; jika ia melakukan ini niscaya ketentuan Allah itu tidak akan
menimpa dirinya.[26]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jujur adalah
memberitahukan atau menuturkan sesuatu dengan sebenarnya. Dalam kehidupan
sehari-hari jujur diterjemahkan sebagai sikap terbuka, yakni tidak ada sesuatu
yang perlu dirahasiakan atau ditutup-tutupi. Islam benar-benar menekankan agar
sifat jujur dijadikan sebagai sikap dan akhlak setiap muslim. Orang yang selalu
jujur akan dicatat Allah sebagai orang yang jujur. Sebaliknya, kebohongan akan
mendorong seseorang melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Islam melarang
umatnya bersikap dan bertutur kata bohong. Orang Islam harus menjauhi segala
bentuk kebohongan.
Setiap
perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah SWT, serta dua malaikat
Allah yang ditugaskan mencatat setiap perbuatan yang kita lakukan. Semua dosa
akan diampuni Allah kecuali dosa syirik (menyekutukan-Nya) jika para pelakunya
tidak bertobat kepada Allah, azab Allah akan menimpa hamba-hambanya yang tidak
ingin bertobat atas perbuatan dosanya. Selain syirik dosa-dosa besar lainnya
juga tidak akan diampuni oleh Allah jika para pelakunya tidak bertobat.
Islam senantiasa
mengajarkan kepada umatnya agar berusaha dengan giat bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau
berdoa mengharapkan rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha.
Namun demikian, tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri
sehingga melupakan pertolongan Allah SWT. dan tidak mau berdoa kepadanya.
B. Saran
Dalam
pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat berterimakasih apabila ada
saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna makalah ini.
Abdullah bin
Abdurrahman Al Bassam. Syarah Bulughul Maram. Jakarta : Pustaka
Azzam. 2007
Ahmadi, Abu. Dosa Dalam Islam. Jakarta : PT Rineka
Cipta.1996
Alfat, Masan.
Dkk., Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas 2. Semarang : PT Karya
Toha Putra. 1995
Fauziyah, Lilis
dan Andi Setyawan. Kebenaran Alqur’an dan Hadis. Malang : Tiga Serangkai. 2005
Fuad Abdul Baqi,
Muhammad. Al-Lu’Lu’ wal Marjan. Jakarta : Pustaka As Sunah. 2008
Fu’ad Abdul Baqi,
Muhammad. Al-Lu’Lu’ Wal Marjan 2. Surabaya : PT Bina Ilmu.
Manshur Ali
Nashif, Syekh. Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah SAW. Jilid 5.Bandung : Sinar Baru Algensindo.2007
Mudjab Mahalli,
Ahmad. Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih Bagian Ibadat. Jakarta : Kencana. 2004
Sati, Ali dan
Maizuddin. Hadis I. Padang : Hayfa Press. 2009
Syamsudin TU. Adabun-Nabi
Meneladani Akhalak Rasulullah SAW. Jakarta : Pustaka Azzam. 2002
Surya Atmaja,
Dwi. Al-Muwatta’ Imam Malik ibn Anas. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1999
Syafe’i, Rahmat. Al-Hadis
[Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum]. Bandung : Pustaka Setia. 2000
[1] Masan Alfat. Dkk., Akidah Akhlak Madrasah
Tsanawiyah Kelas 2. (Semarang : PT Karya Toha Putra. 1995). hal. 89
[2] Rahmat Syafe’i. Al-Hadis [Aqidah, Akhlak,
Sosial, dan Hukum]. (Bandung : Pustaka Setia. 2000). hal. 73-75
[5] Lilis Fauziyah dan Andi Setyawan. Kebenaran
Alqur’an dan Hadis. (Malang : Tiga Serangkai. 2005). hal. 59
[6] Ali Sati dan Maizuddin. Hadis I. (Padang :
Hayfa Press. 2009). hal. 45
[7] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Al-Lu’Lu’ Wal Marjan
2. (Surabaya : PT Bina Ilmu.). hal. 1072
[8] Syekh Manshur Ali Nashif. Mahkota Pokok-Pokok
Hadis Rasulullah SAW. Jilid 5. (Bandung : Sinar Baru Algensindo.2007). hal.
168
[10] Rahmat Syafe’i., op.cit., hal 85
[12] Dwi Surya Atmaja. Al-Muwatta’ Imam Malik ibn
Anas. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1999). hal. 567
[13] Muhammad Fuad Abdul Baqi,. Al-Lu’Lu’ wal
Marjan. (Jakarta : Pustaka As-Sunah. 2008). hal. 89
[14] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Syarah
Bulughul Maram. (Jakarta : Pustaka Azzam. 2007). hal. 400
[15] Ali Sati dan Maizuddin., op.cit., hal 59-60
[16] Ahmad Mudjab Mahalli. Hadis-Hadis Muttafaq
‘Alaih Bagian Ibadat. (Jakarta : Kencana. 2004). hal.68
[18] Syamsudin TU. Adabun-Nabi Meneladani Akhalak
Rasulullah SAW. (Jakarta : Pustaka Azzam. 2002). hal. 108
[20] Rahmat Syafe’i., op.cit., hal 99- 106
[22] Abu Ahmadi. Dosa Dalam Islam. (Jakarta : PT Rineka
Cipta.1996). hal. 137
[24] Ahmad Mudjab Mahalli., op.cit., hal.
498-499
[25] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam., op.cit.
hal. 578-580
Tidak ada komentar:
Posting Komentar