KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dengan hal itu
penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat
beserta salam kita ucapkan untuk junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah
mengantarkan umat manusia ke jalan yang diridhai Allah.
Kami sadar bahwa dalam penulisan makalah ini
masih sangat sederhana, namun harapan kami tidak mengurangi minat pembaca untuk
membaca makalah kami ini. Penulisan makalah ini dapat diselesaikan atas usaha
keras kami dalam mencari dan mengumpulkan berbagai sumber, yang kebetulan
perputakaan Institut kita pada saat pembuatan makalah ini belum berjalan
seperti yang kita harapkan. Disamping itu, kami juga mengucapkan terima kasih
kepada Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada kami
serta teman-teman kami.
Selanjutnya, walaupun makalah ini telah dapat
diselesaikan dengan baik, akan tetapi sangat banyak sekali kekurangan dan
kelemahan didalamnya yang kami rasakan. Oleh sebab itu, kami sangat berharap
kepada Dosen pembimbing agar memberikan sumbangsih pemikirannya dalam bentuk
koreksi, kritik dan saran demi kesempurnaan tugas ini dan begitu juga
tugas-tugas yang lainnya untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian
setiap tugas yang Bapak/Ibu berikan akan selalu sesuai dengan ketentuan yang
telah dijelaskan dalam perkuliahan.
Padang, 30 Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
pengantar.................................................................................................
i
Daftar
isi...........................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................
1
A.
Latar Belakang..........................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah......................................................................................
1
C.
Maksud dan Tujuan...................................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN...............................................................................
2
A.
Pengertian Mawaris...................................................................................
2
B.
Dasar Hukum Mawaris..............................................................................
3
C.
Istilah-istilah dalam Mawaris.....................................................................
6
D.
Rukun dan Syarat Mawaris.......................................................................
6
BAB III
PENUTUP.......................................................................................
9
A.
Kesimpulan................................................................................................
9
B. Saran..........................................................................................................
9
Daftar Pustaka..................................................................................................
10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mawaris memegang peranan yang
penting dalam kehidupan manusia, sebab mawaris pada jaman Arab jahiliyah
sebelum islam datang membagi harta warisan kepada orang laki-laki dewasa
sedangkan kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak mendapatkan
bagian.
Dapat dikembangkan bahwa orang
yang memiliki pertalian darah, perkawinan yang sah baik itu suami/istri, anak
laki-laki maupun perempuan bisa mendapatkan warisan. Hal ini yang menimbulkan
permasalahan dimana kebanyak orang memiliki anak laki untuk mendapatkan warisan
seperti jaman jahiliyah sebelum masuknya islam. Hal ini diakibatkan kurangnya
pengetahuan mengenai mewarisi.
Oleh karena itu kita harus
mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan lain-lain agar dapat
kita terapkan di dalam keluarga.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud Mawaris ?
2.
Apa
dasar hukum Mawaris ?
3.
Apa saja
istilah-istilah dalam Mawaris ?
4.
Apa saja
rukun dan syarat-syarat Mawaris ?
C.
Maksud dan
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Mawaris.
2.
Untuk mengetahui
dasar hukum Mawaris.
3.
Untuk
mengetahui istilah-istilah dalam Mawaris.
4.
Untuk
Mengetahui rukun dan syarat Mawaris.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mawaris
Hukum kewarisan
Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang
masih hidup. Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang
masih hidup inilah yang diatur oleh Hukum Kewarisan Islam/Ilmu Faraidh.
Lafaz al-Faraidh
(الفرائض), sebagai jamak dari lafaz faridhah (فريضة), oleh ulama diartikan bagian yang telah dipastikan atau
ditentukan kadarnya. Diartikan demikian, karena saham-saham yang telah
dipastikan kadarnya dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan
kadarnya.[1] Lafaz
al-Mawarits (الموا ريث) merupakan jamak dari lafaz mirats
(ميراث). Maksudnya adalah :
التِّرْكَةُ
الَّتِيْ خَلَفَهَا الْمَيِّتُ وَوَزَثَهَا غَيْرُهُ.
Harta
peniggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris).
Muhammad
al-Syarbiny mendefenisikan ilmu Faraidh sebagai berikut :
عِلْمٌ يُعْرَفُ
بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لَايَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلُّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوزِيْعِ.
Ilmu yang mempelajari
tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya,
kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.
Muhammad Muhyidin
Abdul Hamid mendefenisikan sebagai berikut :
الْعِلْمُ الْمَوَصِّلُ
إِلَى مَعْرِفَةِ قَدْرِ مَا يَجِبُ بِكُلِّ ذِيْ حَقُّ مِنَ التِّرْكَةِ.
Ilmu yang
membahas tentang kadar (bagian) dari harta peniggalan bagi setiap orang yang
berhak menerimanya (ahli waris).
Dari defenisi diatas,
dapat disimpulkan bahwa Mawaris adalah adalah ilmu yang membicarakan hal
tentang pemindahan harta peniggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada
yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang
berhak menerima harta peniggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris,
maupun cara penyelesaian pembagian harta peniggalan itu.
B.
Dasar
Hukum Mawaris
1.
Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai pembagian harta
peniggalan telah terperinci dengan baik dan dengan sistematika hukum yang kuat.
Hampir semua persoalan kewarisan telah dapat diselesaikan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an. Berikut Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan masalah kewarisan baik secara langsung maupun tidak di dalam al-Qur’an
dapat dijumpai dalam bebrapa surat dan ayat, yaitu :
1. Q.S. An Nisaa' ayat 33
9e@à6Ï9ur
$oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB
$£JÏB x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur
4
tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷r& öNèdqè?$t«sù
öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%2 4n?tã
Èe@à2 &äóÓx«
#´Îgx© ÇÌÌÈ
Artinya
: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang
yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
2. Q.S. Al Anfaal ayat 75
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/
(#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur
öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sù óOä3ZÏB 4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû
É=»tFÏ.
«!$#
3
¨bÎ)
©!$#
Èe@ä3Î/
>äóÓx« 7LìÎ=tæ ÇÐÎÈ
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman
sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu
Termasuk golonganmu (juga)[2].
Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Maksudnya ayat diatas adalah yang Jadi dasar
waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan
keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
3.
Q.S. Al
Ahzab ayat 6
ÓÉ<¨Z9$# 4n<÷rr& úüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ ô`ÏB öNÍkŦàÿRr& ( ÿ¼çmã_ºurør&ur
öNåkçJ»yg¨Bé&
3
(#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû
É=»tFÅ2
«!$#
z`ÏB
úüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÌÉf»ygßJø9$#ur
HwÎ)
br& (#þqè=yèøÿs?
#n<Î) Nä3ͬ!$uÏ9÷rr&
$]ùrã÷è¨B
4
c%2 y7Ï9ºs Îû
É=»tGÅ6ø9$# #YqäÜó¡tB ÇÏÈ
Artinya : “Nabi itu (hendaknya) lebih utama
bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri[1200] dan isteri-isterinya
adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama
lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang
mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik[1201] kepada
saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam
kitab (Allah).”[3]
4.
Q.S. An
Nisaa' ayat 7
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB
x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB
x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx. 4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
Artinya :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan
kewarisan adalah al-Baqarah 180, An-Nisa’ 8, 9, 11, dan 12.
2.
Hadis
اِقْسِمُوا
الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ الله، فَمَا تَرَكَتِ
الْفَرَائِضُ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Bagikanlah harta waris itu diantara ashhabul
furudh (terlebih dahulu) sesuai dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah,
kemudian apa yang disisakan oleh ashhabul furudh adalah untuk lelaki yang
terkuat (dari kalangan ‘ashabah.).” (HR. Al-Bukhari).
Rasulullah
juga bersabda :
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا
شُرَحْبِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حِجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ
أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Telah
menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Ammar; telah menceritakan kepada kami
Isma'il bin 'Ayyasy; telah menceritakan kepada kami Syurahbil bin Muslim Al
Khaulani, aku mendengar Abu Umamah Al Bahili, ia berkata; "Aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada saat khutbah haji wada':
'Sesungguhnya Allah telah memberi masing-masing orang haknya, maka tidak ada
harta wasiat bagi ahli waris.'" (HR. Ibnu Majah).
3. Ijtihad
Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberi
ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal
masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan
dalam kedua sumber hukum tersebut.[4]
Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis
terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.
Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
Faraidh adalah istilah lain dari ilmu mawaris dan memepelajarinya
merupakan fardhu kifayah. Harus ada diantara muslimin yang memepeljari dan
menguasai ilmunya. Umat Islam wajib mengetahui tentang ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh Allah SWT dalam hal yang berkaitan dengan ilmu Faraidh atau
ilmu mawaris tersebut. Rasulullah saw bersabda:
اقسموا المال بين اهل الفرئض على كتاب الله
"Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut kitabullah
(HR. Muslim dan Abu Daud)
Rasulullah juga pernah bersabda:
تعلموا الفرائض وعلموها الناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ
ينزع من امتى
"Pelajarilah
Faraidh dan ajarkanlah kepada manusia karena dia adalah separuh ilmu dan dia
mudah dilupakan orang dan dia adalah sesuatu yang akan dicabut pertama kali
dari umatku. (HR, Ibnu Majah dan Daruqhutni).[5]
C.
Istilah-istilah
dalam Mawaris
Ada beberapa istilah penting yang sering
dipakai dalam pembahasan Mawaris, diantaranya :
1.
Fardh,
yaitu bagian atau jatah yang telah ditetapkan berdasarkan syari’at.
2.
Ash-haabul
Furudh, yaitu golongan yang pertama kali/golongan yang paling berhak
mendapatkan warisan.
3.
‘Ashabah,
yaitu pewaris harta yang dalam Al-Qur’an tidak ditetapkan bagiannya secara
khusus dengan jumlah tertentu.
4.
Waarits,
yaitu ahli waris ialah setiap yang berhak menerima harta warisan baik dari
Ash-haabul Furudh maupun ‘Ashabah.
5.
Miraats,
yaitu berpindahnyan hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup.
6.
Tirkah,
yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris untuk ahli waris berupa harta
warisan, yang biasanya juga disebut dengan miraats.
7.
Ashl,
yaitu bentuk jamaknya ushuul, yaitu bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya.
8.
Far’,
yaitu ialah anak dan seterusnya.
9.
Hawaasyi,
yaitu cabang dari Ashl, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan atau
saudara perempuan dari mayit atau anak saudaranya.
10. Kalaalah, yaitu mayit yang tidak punya anak dan
bapak.[6]
D.
Rukun
dan Syarat-syarat Mawaris
Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan tiga
rukun, yaitu sebagaimana ditulis oleh Sayid Sabiq :
أ.
الْوَارِثُ : وَهُوَالَّذِىْ يَنْتَمِى إِلَى الْمَيِّتِ
بِسَبَبٍ مِنْ أَسْبَابِ الْمِيْرَاثِ.
ب. الْمُوَرِّثُ
: وَهُوَ الْمَيِّتُ حَقِيْقَةً أَوْحُكْمًا مِثْلُ الْمَفْقُوْدِ الَّذِيْ حُكِمَ
بِمَوْتِهِ.
ت. الْمَوْرُوْثُ
: وَيُسَمَّى تِرْكَةً وَمِيْرَاثٍا، وَهُوَالَّمَالُ أَوِالْحَقُّ الْمَنْقُوْلَ
مِنْ اْلمُوَرِّثِ إلَى الْوَارِثِ.
1.
Ahli
waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu
sebab-sebab pewarisan.
2.
Pewaris,
yaitu si mati, baik mati haqiqi maupun hukum, seperti yang telah hilang, yang
oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
3.
Warisan,
dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak berpindah dari
si pewaris kepada ahli waris.
Ketiga rukun diatas berkaitan antara satu
dengan lainnya. Ketiganya harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain,
pewarisan tidak mungkin terjadi manakala salah satu di antara ketiga unsur di
atas tidak ada.
Sebagaimana rukun pewarisan, syarat pewarisan
pun ada tiga, yaitu :
أ.
مَوْتُ الْمُوَرِّثُ حَقِيْقَةً أَوْمَوْتُهُ حُكْمًا
كَأَنْ يَحْكُمَ الْقَاضِي بِمَوْتِ الْمَفْقُوْدِ.
ب. حَيَاةُ
الْوَارِثِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ وَلَوْ حُكْمًا كَالْحَمْلِ.
ت. اَلَا يُوْجَدُ
مَانِعُ مِنْ مَوَانِع الْإِرْثِ.
1.
Meninggalnya
pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti keputusan hakim atas
kematian orang mafqud (hilang).
2.
Hidupnya
ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum seperti anak
dalam kandungan.
3.
Tidak
adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.[7]
Mengenai syarat-syarat pewarisan ini, Yusuf
Musa membaginya ke dalam syarat ‘ammah, bil-Zaujiyah, dan bil-Wala’. Ia
mengemukakan sebagai berikut :
1.
Syarat ‘ammah
Syarat ini hanya ada dua: Kepastian matinya si
pewaris, atau dianggap mati, seperti orang hilang dinyatakan mati oleh
keputusan hakim; dan kepastian hidupnya ahli waris, atau diperhitungkan hidup
sperti anak dalam kandungan yang dilahirkan dalam keadaan hidup, dan dinyatakan
sudah ada, sekalipun masih berupa nutfah pada saat matinya si pewaris.
2.
Syarat
bil-Zaujiyah
Pertama, hendaklah perkawinan itu sah; maka
bagi perkawinan yang bathil dan fasid (rusak) tidak ada ketentuan untuk
mendapat warisan. Salah satu pasangan perkawinan itu mendapat harta warisan,
selama sebelum terjadi perceraian antara keduanya sampai ada salah seorangnya
yang mati. Demikian juga harta warisan itu tidak bisa diperoleh jika masih
belum diketahui fasid (rusak)-nya perkawinan, kecuali bila sudah terjadi persebadanan.
Kedua, masih ada ikatan perkawinan pada saat
matinya salah satu pasangan perkawinan tersebut. Atau kalaupun sudah bercerai,
perceraiannya itu merupakan thalak ruju’ dan pada saat si wanita masih dalam
keadaan ’iddah.
3.
Syarat bil-Wala’
Syarat mendapatkan warisan dengan jalan ini
ialah jika tidak ada ahli waris lain, kecuali orang yang memerdekakan budak
tersebut (sebagai ahli waris tunggal), tidak ada ahli waris karena sebab
perkawinan, kekerabatan atau ahli waris dari kelompok dzawil arham sekalipun
sebagaimana yang ditetapkan Kitab Undang-undang Hukum Warisan.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mawaris adalah
adalah ilmu yang membicarakan hal tentang pemindahan harta peniggalan dari
seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta
yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peniggalan
tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian
harta peniggalan itu.
Kedudukan ilmu
Mawaris dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena
dengan membagi harta warisan secara benar maka salah satu urusan hak adami
manusia bisa terselesaikan dengan baik. Hal itulah yang menyebabkan ilmu
Mawaris mempunyai kedudukan yang sangat penting, sehingga al-Qur’an menjelaskan
perkara Mawaris secara terperinci.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada
keterangan yang kurang bisa dipahami, mohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami
sangat berterimakasih apabila ada saran/kritik yang bersifat membangun sebagai
penyempurna dari makalah ini.
Daftar
Pustaka
Akhmad., Salimi. Fiqh Mawaris Hukum
Kewarisan Islam. Jakarta : Gaya Media
Pratama.1997.
Suhrawardi dan Simanjuntak, Komis. Hukum
Waris Islam [Lengkap & Praktis].
Jakarta : Sinar
Grafika. 2004.
Syarifuddin., Amir. Hukum Kewarisan Islam.
Thalib., Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia. Jakarta : PT. Bina Aksara.
1984.
[1] Syarifuddin., Amir. Hukum Kewarisan Islam. hal. 5
[2] Thalib., Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Jakarta :
PT. Bina Aksara. 1984). hal. 46
[3] Ibid. hal 22
[4] Thalib., Sajuti., op.cit.,
hal. 4
[5] Ibid. hal. 5
[6] Akhmad., Salimi. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta :
Gaya Media Pratama.1997). hal. 23
[7] Ibid. hal. 24
[8] Ibid. hal. 27