Recent Posts

Welcome to My Blog

Jumat, 28 Juni 2013

Makalah Fiqh tentang Mawaris


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dengan hal itu penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam kita ucapkan untuk junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia ke jalan yang diridhai Allah.
Kami sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat sederhana, namun harapan kami tidak mengurangi minat pembaca untuk membaca makalah kami ini. Penulisan makalah ini dapat diselesaikan atas usaha keras kami dalam mencari dan mengumpulkan berbagai sumber, yang kebetulan perputakaan Institut kita pada saat pembuatan makalah ini belum berjalan seperti yang kita harapkan. Disamping itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada kami serta teman-teman kami.
Selanjutnya, walaupun makalah ini telah dapat diselesaikan dengan baik, akan tetapi sangat banyak sekali kekurangan dan kelemahan didalamnya yang kami rasakan. Oleh sebab itu, kami sangat berharap kepada Dosen pembimbing agar memberikan sumbangsih pemikirannya dalam bentuk koreksi, kritik dan saran demi kesempurnaan tugas ini dan begitu juga tugas-tugas yang lainnya untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian setiap tugas yang Bapak/Ibu berikan akan selalu sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan dalam perkuliahan.
Padang, 30 Maret 2013


Penulis
  

DAFTAR ISI
Kata pengantar................................................................................................. i
Daftar isi........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.      Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah...................................................................................... 1
C.       Maksud dan Tujuan................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2
A.      Pengertian Mawaris................................................................................... 2
B.       Dasar Hukum Mawaris.............................................................................. 3
C.       Istilah-istilah dalam Mawaris..................................................................... 6
D.      Rukun dan Syarat Mawaris....................................................................... 6
BAB III PENUTUP....................................................................................... 9
A.      Kesimpulan................................................................................................ 9
B.       Saran.......................................................................................................... 9
Daftar Pustaka.................................................................................................. 10

BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Mawaris memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab mawaris pada jaman Arab jahiliyah sebelum islam datang membagi harta warisan kepada orang laki-laki dewasa sedangkan kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak mendapatkan bagian.
Dapat dikembangkan bahwa orang yang memiliki pertalian darah, perkawinan yang sah baik itu suami/istri, anak laki-laki maupun perempuan bisa mendapatkan warisan. Hal ini yang menimbulkan permasalahan dimana kebanyak orang memiliki anak laki untuk mendapatkan warisan seperti jaman jahiliyah sebelum masuknya islam. Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan mengenai mewarisi.
Oleh karena itu kita harus mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan lain-lain agar dapat kita terapkan di dalam keluarga.
      B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Mawaris ?
2.      Apa dasar hukum Mawaris ?
3.      Apa saja istilah-istilah dalam Mawaris ?
4.      Apa saja rukun dan syarat-syarat Mawaris ?
      C.    Maksud dan Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Mawaris.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum Mawaris.
3.      Untuk mengetahui istilah-istilah dalam Mawaris.
4.      Untuk Mengetahui rukun dan syarat Mawaris.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mawaris
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang masih hidup inilah yang diatur oleh Hukum Kewarisan Islam/Ilmu Faraidh.
Lafaz al-Faraidh (الفرائض), sebagai jamak dari lafaz faridhah (فريضة), oleh ulama diartikan bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya. Diartikan demikian, karena saham-saham yang telah dipastikan kadarnya dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan kadarnya.[1] Lafaz al-Mawarits (الموا ريث) merupakan jamak dari lafaz mirats (ميراث). Maksudnya adalah :
التِّرْكَةُ الَّتِيْ خَلَفَهَا الْمَيِّتُ وَوَزَثَهَا غَيْرُهُ.
Harta peniggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris).
Muhammad al-Syarbiny mendefenisikan ilmu Faraidh sebagai berikut :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لَايَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلُّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوزِيْعِ.
Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefenisikan sebagai berikut :
الْعِلْمُ الْمَوَصِّلُ إِلَى مَعْرِفَةِ قَدْرِ مَا يَجِبُ بِكُلِّ ذِيْ حَقُّ مِنَ التِّرْكَةِ.
Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian) dari harta peniggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris).
Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Mawaris adalah adalah ilmu yang membicarakan hal tentang pemindahan harta peniggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peniggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peniggalan itu.
B.     Dasar Hukum Mawaris
1.      Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai pembagian harta peniggalan telah terperinci dengan baik dan dengan sistematika hukum yang kuat. Hampir semua persoalan kewarisan telah dapat diselesaikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Berikut Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah kewarisan baik secara langsung maupun tidak di dalam al-Qur’an dapat dijumpai dalam bebrapa surat dan ayat, yaitu :
1.      Q.S. An Nisaa' ayat 33
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%Ÿ2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ  
Artinya : “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
2.      Q.S. Al Anfaal ayat 75
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sù óOä3ZÏB 4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ ÇÐÎÈ  
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga)[2]. Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Maksudnya ayat diatas adalah yang Jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
3.      Q.S. Al Ahzab ayat 6
ÓÉ<¨Z9$# 4n<÷rr& šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ ô`ÏB öNÍkŦàÿRr& ( ÿ¼çmã_ºurør&ur öNåkçJ»yg¨Bé& 3 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÅ2 «!$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# tûï̍Éf»ygßJø9$#ur HwÎ) br& (#þqè=yèøÿs? #n<Î) Nä3ͬ!$uŠÏ9÷rr& $]ùrã÷è¨B 4 šc%Ÿ2 y7Ï9ºsŒ Îû É=»tGÅ6ø9$# #YqäÜó¡tB ÇÏÈ  
Artinya : “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri[1200] dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik[1201] kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).”[3]
4.      Q.S. An Nisaa' ayat 7
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan kewarisan adalah al-Baqarah 180, An-Nisa’ 8, 9, 11, dan 12.
2.      Hadis
اِقْسِمُوا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ الله، فَمَا تَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Bagikanlah harta waris itu diantara ashhabul furudh (terlebih dahulu) sesuai dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah, kemudian apa yang disisakan oleh ashhabul furudh adalah untuk lelaki yang terkuat (dari kalangan ‘ashabah.).” (HR. Al-Bukhari).
Rasulullah juga bersabda :
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُرَحْبِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حِجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Ammar; telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy; telah menceritakan kepada kami Syurahbil bin Muslim Al Khaulani, aku mendengar Abu Umamah Al Bahili, ia berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada saat khutbah haji wada': 'Sesungguhnya Allah telah memberi masing-masing orang haknya, maka tidak ada harta wasiat bagi ahli waris.'" (HR. Ibnu Majah).
3.      Ijtihad
Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut.[4] Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.
Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
Faraidh adalah istilah lain dari ilmu mawaris dan memepelajarinya merupakan fardhu kifayah. Harus ada diantara muslimin yang memepeljari dan menguasai ilmunya. Umat Islam wajib mengetahui tentang ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam hal yang berkaitan dengan ilmu Faraidh atau ilmu mawaris tersebut. Rasulullah saw bersabda:
اقسموا المال بين اهل الفرئض على كتاب الله
"Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut kitabullah (HR. Muslim dan Abu Daud)
Rasulullah juga pernah bersabda:
تعلموا الفرائض وعلموها الناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى
"Pelajarilah Faraidh dan ajarkanlah kepada manusia karena dia adalah separuh ilmu dan dia mudah dilupakan orang dan dia adalah sesuatu yang akan dicabut pertama kali dari umatku. (HR, Ibnu Majah dan Daruqhutni).[5]
C.    Istilah-istilah dalam Mawaris
Ada beberapa istilah penting yang sering dipakai dalam pembahasan Mawaris, diantaranya :
1.      Fardh, yaitu bagian atau jatah yang telah ditetapkan berdasarkan syari’at.
2.      Ash-haabul Furudh, yaitu golongan yang pertama kali/golongan yang paling berhak mendapatkan warisan.
3.      ‘Ashabah, yaitu pewaris harta yang dalam Al-Qur’an tidak ditetapkan bagiannya secara khusus dengan jumlah tertentu.
4.      Waarits, yaitu ahli waris ialah setiap yang berhak menerima harta warisan baik dari Ash-haabul Furudh maupun ‘Ashabah.
5.      Miraats, yaitu berpindahnyan hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup.
6.      Tirkah, yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris untuk ahli waris berupa harta warisan, yang biasanya juga disebut dengan miraats.
7.      Ashl, yaitu bentuk jamaknya ushuul, yaitu bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya.
8.      Far’, yaitu ialah anak dan seterusnya.
9.      Hawaasyi, yaitu cabang dari Ashl, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan atau saudara perempuan dari mayit atau anak saudaranya.
10.  Kalaalah, yaitu mayit yang tidak punya anak dan bapak.[6]
D.    Rukun dan Syarat-syarat Mawaris
Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan tiga rukun, yaitu sebagaimana ditulis oleh Sayid Sabiq :
أ‌.        الْوَارِثُ : وَهُوَالَّذِىْ يَنْتَمِى إِلَى الْمَيِّتِ بِسَبَبٍ مِنْ أَسْبَابِ الْمِيْرَاثِ.
ب‌.  الْمُوَرِّثُ : وَهُوَ الْمَيِّتُ حَقِيْقَةً أَوْحُكْمًا مِثْلُ الْمَفْقُوْدِ الَّذِيْ حُكِمَ بِمَوْتِهِ.
ت‌.  الْمَوْرُوْثُ : وَيُسَمَّى تِرْكَةً وَمِيْرَاثٍا، وَهُوَالَّمَالُ أَوِالْحَقُّ الْمَنْقُوْلَ مِنْ اْلمُوَرِّثِ إلَى الْوَارِثِ.
1.      Ahli waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab pewarisan.
2.      Pewaris, yaitu si mati, baik mati haqiqi maupun hukum, seperti yang telah hilang, yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
3.      Warisan, dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak berpindah dari si pewaris kepada ahli waris.
Ketiga rukun diatas berkaitan antara satu dengan lainnya. Ketiganya harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain, pewarisan tidak mungkin terjadi manakala salah satu di antara ketiga unsur di atas tidak ada.
Sebagaimana rukun pewarisan, syarat pewarisan pun ada tiga, yaitu :
أ‌.        مَوْتُ الْمُوَرِّثُ حَقِيْقَةً أَوْمَوْتُهُ حُكْمًا كَأَنْ يَحْكُمَ الْقَاضِي بِمَوْتِ الْمَفْقُوْدِ.
ب‌.  حَيَاةُ الْوَارِثِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ وَلَوْ حُكْمًا كَالْحَمْلِ.
ت‌.  اَلَا يُوْجَدُ مَانِعُ مِنْ مَوَانِع الْإِرْثِ.
      1.      Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti keputusan hakim atas kematian orang mafqud (hilang).
      2.      Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum seperti anak dalam kandungan.
      3.      Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.[7]
Mengenai syarat-syarat pewarisan ini, Yusuf Musa membaginya ke dalam syarat ‘ammah, bil-Zaujiyah, dan bil-Wala’. Ia mengemukakan sebagai berikut :
      1.      Syarat ‘ammah
Syarat ini hanya ada dua: Kepastian matinya si pewaris, atau dianggap mati, seperti orang hilang dinyatakan mati oleh keputusan hakim; dan kepastian hidupnya ahli waris, atau diperhitungkan hidup sperti anak dalam kandungan yang dilahirkan dalam keadaan hidup, dan dinyatakan sudah ada, sekalipun masih berupa nutfah pada saat matinya si pewaris.
      2.      Syarat bil-Zaujiyah
Pertama, hendaklah perkawinan itu sah; maka bagi perkawinan yang bathil dan fasid (rusak) tidak ada ketentuan untuk mendapat warisan. Salah satu pasangan perkawinan itu mendapat harta warisan, selama sebelum terjadi perceraian antara keduanya sampai ada salah seorangnya yang mati. Demikian juga harta warisan itu tidak bisa diperoleh jika masih belum diketahui fasid (rusak)-nya perkawinan, kecuali bila sudah terjadi persebadanan.
Kedua, masih ada ikatan perkawinan pada saat matinya salah satu pasangan perkawinan tersebut. Atau kalaupun sudah bercerai, perceraiannya itu merupakan thalak ruju’ dan pada saat si wanita masih dalam keadaan ’iddah.
3.      Syarat bil-Wala’
Syarat mendapatkan warisan dengan jalan ini ialah jika tidak ada ahli waris lain, kecuali orang yang memerdekakan budak tersebut (sebagai ahli waris tunggal), tidak ada ahli waris karena sebab perkawinan, kekerabatan atau ahli waris dari kelompok dzawil arham sekalipun sebagaimana yang ditetapkan Kitab Undang-undang Hukum Warisan.[8]


BAB III
PENUTUP
      A.    Kesimpulan
Mawaris adalah adalah ilmu yang membicarakan hal tentang pemindahan harta peniggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peniggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peniggalan itu.
Kedudukan ilmu Mawaris dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena dengan membagi harta warisan secara benar maka salah satu urusan hak adami manusia bisa terselesaikan dengan baik. Hal itulah yang menyebabkan ilmu Mawaris mempunyai kedudukan yang sangat penting, sehingga al-Qur’an menjelaskan perkara Mawaris secara terperinci.
      B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, mohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami sangat berterimakasih apabila ada saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna dari makalah ini.

Daftar Pustaka
Akhmad., Salimi. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Gaya Media
Pratama.1997.
Suhrawardi dan Simanjuntak, Komis. Hukum Waris Islam [Lengkap & Praktis].
Jakarta : Sinar Grafika. 2004.
Syarifuddin., Amir. Hukum Kewarisan Islam.
Thalib., Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Bina Aksara.
1984.



[1] Syarifuddin., Amir. Hukum Kewarisan Islam. hal. 5
[2] Thalib., Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Jakarta : PT. Bina Aksara. 1984). hal. 46
[3] Ibid. hal 22
[4] Thalib., Sajuti., op.cit.,  hal. 4
[5] Ibid. hal. 5
[6] Akhmad., Salimi. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta : Gaya Media Pratama.1997). hal. 23
[7] Ibid. hal. 24
[8] Ibid. hal. 27