BAB I
PENDAHULUAN
Haji secara lughat (bahasa) adalah menyengaja, sedangkan menurut syara’
adalah menyegaja mengunjungi ka’bah dengan tujuan beribadah. Sedangkan Umrah
secara lughat (bahasa) adalah berkunjung atau ziarah, sedangkan menurut
syara’ adalah sengaja berkunjung ke Ka’bah untuk melakukan ibadah tawaf dan
sa’i. Di dalam pelaksanaan haji terdapat hal-hal yang harus terpenuhi yaitu
berupa syarat dan rukun haji. Syarat
wajib haji meliputi ; (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Istitha’ah
(mampu), (5) Merdeka. Sedangkan rukun haji menurut Imam syafi’i meliputi ; (1)
Ihram, (2) Tawaf, (3) Sa’i antara Shafa dan Marwa, (4) Wukuf di Arafah.[1]
Dalam perkembangannya jumlah jamaah haji dan umrah
semakin hari kian meningkat sehingga terjadi beberapa masalah terkait
pelaksanaan haji dan umrah, seperti keterbatasan tempat sehingga pemerintah
Arab Saudi memberlakukan kebijakan – kebijakan antara lain memperluas mina, dan
penambahan lantai untuk tempat thawaf. Ternyata kebijakan tersebut menjadi
kontroversi dikalangan ulama Indonesia. Perluasan daerah mina ini, membuat
adanya pembatasan kuota pemberangkatan calon jamaah haji dan umrah dan lamanya
waktu pemberangkatan. Tidak heran banyak para calon jamaah haji dan umrah yang
harus digantikan oleh orang lain karena hal ini. Oleh karena itu penulis akan
membahas permasalahan-permasalahan terkait ibadah haji dan umrah tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Badal Haji
Badal secara lughawi
berarti mengganti, merubah atau menukar. Dengan demikian yang dimaksud haji
badal adalah ibadah haji seseorang yang pelaksanaannya diwakilkan atau
digantikan oleh orang lain menurut
syarat-syarat tertentu. Dengan kata lain, haji badal muncul
berkaitan dengan seseorang yang telah dikategorikan wajib haji (terutama dari
segi ekonomi) tapi tidak mampu melakukannya sendiri karena adanya halangan yang
dilegalkan oleh syariat Islam. Maka dapat dipahami bahwa haji badal
dilakukan dalam salah satu dari dua kondisi; ketika yang diwakilkan masih hidup
atau yang diwakilkan telah meninggal dunia.[2]
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud haji
badal adalah haji yang dilakukan oleh seseorang untuk menggantikan
kewajiban haji bagi orang lain dikarenakan adanya udzur, meninggal dunia, dan
dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.
B. Niat dan Miqat
1.
Niat
Niat
secara bahasa adalah "maksud"
(القصدُ)
Sementara
menurut Syara’ niat adalah
قَصْدُ فعْلِ العبادةِ تَقرُّبًا إلى
الله تعالى، بأن يَقْصِد بعملِه اللهَ تعالى دونَ شيءٍ آخرَ، وهذا هو الإخْلاصُ.
والعبادةُ إخْلاصُ العملِ بكلّيّتِه لله تعالى
“Maksud mengerjakan sebuah amal
ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tujuan ibadahnya tersebut
hanya Allah swt tidak ada tujuan yang lain dan hal ini disebut pula ikhlas.
Ibadah adalah pemurnian amal secara keseluruhan hanya kepada Allah semata.”
Ihram adalah niat memulai ibadah haji atau umrah atau
kedua-duanya. Hal ini sesuai keterangan hadits shahih dari Aisyah RA, dia
berkata, “kami berangkat bersama Rasulullah. Beliau bersabda, “Siapa yang
hendak memulai haji dan umrah, hendaklah dia melakukannya; siapa yang hendak
memulai haji, hendaklah dia melakukannya; siapa yang hendak memulai umrah,
hendaklah dia melakukannya.”
Seorang yang melakukan haji atau umrah dianjurkan
melafalkan niat, seperti “Aku niat haji atau umrah”, atau “Aku berihram (haji atau
umrah) karena Allah”. Apabila seseorang melaksanakan haji atau umrah atas nama
orang lain, niatnya yaitu “Aku berniat haji atau umrah sebagai pengganti orang
lain”, atau “Aku ihram atas nama orang lain karena Allah”.
Jamaah haji disunahkan membaca talbiyah bersamaan
dengan niat dan mempersering bacaan talbiyah dengan suara keras bagi laki-laki.
Kecuali pada awal memulai talbiyah, lakukanlah dengan suara pelan. Demikian
menurut pendapat yang mu’tamad.[3]
Adapun dari sumber
lain, akan di paparkan niat dari haji dan umrah:
a.
Niat Ibadah Umrah
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ وَأَحْرَمْتُ بِحَ الله
تَعَالَى
Artinya
: Sahaja aku melakukan umrah dan berihram dengannya karena Allah taala.
b.
Niat Ibadah Haji
نَوَيْتُ الْحَجَّ وَأَحْرَمْتُ بِحَ الله تَعَالَى
Artinya
: Sahaja aku melakukan haji dan berihram dengannya karena Allah taala.
c.
Niat Ibadah Umrah dan Haji
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ الْحَجَّ وَأَحْرَمْتُ
بِحِمَا الله تَعَالَى
Artinya
: Sahaja aku melakukan dan umrah haji dan berihram dengan keduanya karena Allah
taala.
d.
Niat Badal Umrah
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ
بَدَلاًعَنِ الْمَرْحُوْم __ بن __ \ الْمَرْحُوْمَة __ بنت __ وَأَحْرَمْتُ بِحَ
لله تَعَالَى
Artinya
: Sahaja aku melakukan umrah gantian untuk fulan bin fulan / si fulanah binti
fulan dan berihram dengannya karena Allah taala.
e.
Niat Badal Haji
نَوَيْتُ الْحَجَّ
بَدَلاًعَنِ الْمَرْحُوْم __ بن __ \ الْمَرْحُوْمَة __ بنت __ وَأَحْرَمْتُ بِحَ لله
تَعَالَى
Artinya
: Sahaja aku melakukan haji gantian untuk fulan bin fulan / si fulanah binti
fulan dan berihram dengannya karena Allah taala.[4]
2.
Miqat
Mawaqit adalah bentuk
jamak dari kata miqat. Arti secara etimologis adalah batas; arti secara
terminologis adalah tempat ibadah atau waktunya. Haji memiliki mawaqit
berkaitan dengan waktu (Miqat Zamani) dan tempat (Miqat Makani).
a. Batasan Waktu (Miqat Zamani)
Yaitu ketentuan
waktu-waktu untuk sahnya melaksanakan ibadah haji, Allah berfirman dalam Q.S.
Al-Baqarah ayat 197 :
kptø:$#
Ößgô©r&
×M»tBqè=÷è¨B
4 `yJsù uÚtsù
ÆÎgÏù ¢kptø:$#
xsù
y]sùu
wur
XqÝ¡èù wur
tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur
(#qè=yèøÿs? ô`ÏB
9öyz
çmôJn=÷èt
ª!$#
3 (#rߨrts?ur cÎ*sù
uöyz
Ï#¨9$#
3uqø)G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur
Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ
Artinya
: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh
rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwal dan bertakwalah
kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.
Ayat ini
menunjukkan bahwa haji memiliki ketentuan-ketentuan waktu yang telah ditetapkan
secara nash, maka tidak boleh melakukan ibadah haji kecuali pada bulan-bulannya
yang telah ditentukan. Allah berfirman dalam Q.S. Ath-Thalaaq ayat 1 :
y7ù=Ï?ur...... ßrßãn «!$#
4 `tBur £yètGt
yrßãn «!$#
ôs)sù
zNn=sß
¼çm|¡øÿtR 4 ...... ÇÊÈ
Artinya
: “....Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri......”.
Apabila
seseorang memulai ihram haji sebelum masuk bulannya, maka ibadahnya tidak sah.
Ini adalah pendapat seluruh kalangan sahabat. Sementara dari Asy-Sya’bi dan
Atha’ menyatakan sah. Al Auza’i dan Syafi’i mengatakan, “amalan tersebut harus
menjadi amalan umrah.” Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berkata, “Itu
adalah makruh, dan apabila melakukan ihram sebelum masuk bulan haji, maka harus
mengulanginya lagi.”[5]
Bulan-bulan
haji adalah Syawwal, Dzulqa’da, dan sepuluh hari pada bulan Zulhijjah. Bagi
mereka yang melakukan ihram untuk beribadah haji pada bulan-bulan ini, maka ia
harus menjauhi apa-apa yang bisa membuat kerusakan dalam ibadah haji, baik
berupa perkataan dan perbuatan yang hina. Ia harus sibuk dengan amal kebajikan
dan selalu menghiasi diri dengan ketakwaan.[6]
b.
Batasan Tempat (Miqat
Makani)
Yaitu tempat yang telah
ditentukan syariat, untuk dijadikan batas memulai ihram bagi orang yang ingin
melaksanakan haji atau umrah, dan tidak diperkenankan melewatinya—bagi yang
bermaksud melaksanakan haji atau umrah—tanpa berihram.
Batasan-batasan ini
berlaku bagi mereka yang bermaksud melaksanakan haji atau umrah, baik dia
berasal dari penduduk arah (tempat) tersebut atau bukan. Tempat-tempat itu
adalah :
1) Dzul Hulaifah : Miqat
untuk penduduk Madinah, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan “Bir Ali”.
2) Juhfah : Miqat untuk
penduduk Syam, Mesir dan Maroko. Ia terletak dekat “Rabigh” yang sekarang telah
dijadikan sebagai miqat.
3) Qarn Al Manazil : Miqat
untuk penduduk Najed, yang sekarang lebih dikenal dengan “Wadi As-Sail”.
4) Yalamlam : Miqat untuk
penduduk Yaman.
Rasulullah bersabda :
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ
الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ
يَلَمْلَمَ فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ
لِمَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُونَهُنَّ فَمُهَلُّهُ
مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَاكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا
“Dari
Ibnu 'Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk
Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil dan bagi penduduk
Yaman di Yalamlam. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk
negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut
bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan umrah.
Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat
tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah,
mereka memulainya (bertalbiah) dari (rumah mereka) di Makkah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
5) Dzatu ‘Irq : Miqat
untuk penduduk Irak dan yang berasal dari arah timur. Tempat ini terletak di
dekat “Al Aqiq”.[7]
Miqat-miqat ini sebagai
tempat awal bagi para penduduknya untuk memakai ihram. Demikian pula semua
orang yang lewat di sana yang bukan warganya, tetapi hendak beribadah haji dan
umrah. Barangsiapa melampaui miqat tanpa ihram, harus kembali ke miqat itu dan
melakukan ihram dari sana. Karena hal itu adalah kewajiban yang bisa
didapatkannya, tidak boleh meninggalkannya. Jika ia tidak kembali ke miqat itu,
ia wajib membayar fidya dengan menyembelih seekor kambing atau mengambil
sepertujuh onta gemuk atau sepertujuh sapi gemuk dan membagikan dagingnya
kepada orang-orang miskin di Tanah Haram dan tidak memakannya sedikit pun.
Wajib atas setiap
muslim untuk selalu memperhatikan perkara-perkara agamanya, yakni melakukan
setiap ibadah dengan cara-cara yang disyari’atkan. Di antaranya adalah memakai
pakaian ihram untuk berhaji atau umrah, wajib dari tempat yang telah ditentukan
oleh Rasulullah SAW, dan setiap muslim harus mengikatkan diri dengan itu dan
tidak melampauinya dengan tidak berpakaian ihram.
Bagi
jamaah haji Indonesia, pertama, jika berkesempatan untuk mampu berada di
Zulhulaifah, Juhfah, Qarnul manazil atau Yalamlam, tempat-tempat itulah miqat
makaninya sesuai dengan hadits. Kedua, jika tidak mampu datang ke salah
satu dari empat tempat tersebut, maka tempat mana saja boleh dijadikan sebagai
miqat makani, asalkan lokasinya di luar tanah Haram dan menyediakan fasilitas
untuk persiapan berihram.[8]
Bagi
jemaah haji Gelombang Pertama yang ke Madinah dahulu sebelum ke Makkah,
miqat makani mereka sudah tentu di Dzulhulaifah, tempat miqat Rasulullah
s.a.w. ketika beliau menunaikan haji. Nama Dzulhulaifah tidak dipakai lagi,
sebab tempat itu kini bernama Bi’r (Abyar) Ali,
sebagaimana nama Sunda Kalapa dan Batavia (Betawi) sekarang berubah menjadi
Jakarta. Para jemaah haji mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian
ihram pada pondokan masing-masing di Madinah. Kendaraan akan mampir di Bi’r Ali
(Dzulhulaifah) kira-kira setengah jam, agar jemaah haji menunaikan shalat
sunnah ihram. Di Bi’r Ali, ketika kendaraan mulai bergerak ke arah Makkah,
jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”
Bagi
jemaah haji Gelombang Kedua yang langsung ke Makkah, miqat makani mereka
yang paling ideal sampai saat ini adalah Bandar Udara Raja Abdul Aziz,
yang populer dengan singkatan KAA Airport (King Abdul Aziz Airport). Di
bandara megah ini tersedia hamparan karpet tempat istirahat yang luas,
fasilitas mandi dengan air yang berlimpah, serta para petugas orang Indonesia
yang siap membantu, sehingga para jemaah haji dengan leluasa mandi, memakai
wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan menunaikan shalat sunnah ihram.
Kenyataannya, sebagian besar jemaah haji dari berbagai negara mulai berihram di
KAA Airport. Sedikit sekali jemaah yang turun dari pesawat udara dalam keadaan
berihram. Di KAA Airport, ketika kendaraan mulai bergerak ke arah Makkah yang
hanya satu jam perjalanan, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik
Allahumma `Umrah.”
KAA
Airport jelas berada di luar Tanah Haram, dan jalur penerbangan kita
dari tanah air sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Menurut ketentuan
pemerintah Arab Saudi yang disahkan oleh ICAO (International Civil Aviation
Organization), badan PBB yang mengatur penerbangan sipil antarbangsa,
setiap pesawat udara dari kawasan Asia dan Pasifik harus datang dari arah timur
laut, melewati kota Dafinah (23 16’ N, 41 51’ E), lalu menurunkan ketinggian di
atas kota Nasir (22 14’ N, 40 04’ E), dan mendarat di KAA Airport (21 41’ N, 39
10’ E). Bandara ini terletak di utara Jeddah (21 29’ N, 39 10’ E), dan cukup
jauh dari Makkah (21 28’ N, 39 55’ E). Di sekitar garis Tropic of Cancer,
1 derajat North = 111 km (1’ = 1,85 km) dan 1 derajat East = 108 km (1’ = 1,80
km). Maka dengan eksak dapat kita hitung bahwa KAA Airport berjarak lurus 22 km
di utara Jeddah dan berjarak lurus 84,5 km di barat laut Makkah.
Jalur
penerbangan dari tanah air kita ke KAA Airport juga sama sekali tidak lewat di
atas salah satu dari empat tempat miqat yang disebutkan dalam hadits. Dari empat
tempat miqat tersebut, yang relatif paling dekat dengan jalur penerbangan
adalah Qarnulmanazil (21 37’ N, 40 25’ E). Seperti nama Dzulhulaifah,
nama Qarnulmanazil tidak dipakai lagi. Tempat itu kini bernama As-Sayl
al-Kabir, dan ternyata sangat jauh dari jalur penerbangan. Garis lurus dari
Qarnulmanazil ke jalur penerbangan membentuk sudut siku-siku tepat pada kota
Nasir. Dengan demikian, jarak dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan (kota
Nasir) secara eksak dapat kita hitung, yaitu 78,2 km, lebih jauh dari jarak
lurus Qarnulmanazil ke Makkah yang cuma 56,5 km.[9]
C. Kepada Siapa Di Badalkan ?
Dalam konteks uraian
tentang badal haji, terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa mayoritas
ulama (kecuali ulama-ulama bermazhab Maliki) membenarkan menghajikan orangtua
ataupun orang lain, dengan syarat bahwa yang akan dihajikan itu telah uzur
sehingga diduga keras ia tidak mampu lagi untuk menunaikannya, atau bahkan
telah meninggal dunia. Sebagaimana sabda Rasullah SAW :
اَنَّ ا مْرَاَةَ خَتْعَمٍ قَالَتْ : يَارَسُوْلَ الله ،
اِنَّ فَرِيْضَةَ الله عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ اَدْرَكْتُ اَبِيْ شَيْخًا كَبِيْرًا
لَايَسْتَطِيْعُ اَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَّاخِلَةِ اَفَا حُجَّ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمُ.
Artinya : “Bahwa
seorang wanita dari Khas’am bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah,
salah satu kewajiban Allah kepada hamba-Nya adalah haji. Ayah saya sekarang
sudah sangat tua, tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan. Apakah aku boleh
menunaikan ibadah haji atas namanya?” “Boleh,” jawab Rasulullah”. (HR.
Malik, as-Syafi’i, dan Bukhari).
Adapun hadits yang
berkaitan dengan diperbolehkannya orang yang telah meninggal untuk dihajikan
adalah dari Ibnu Abbas RA.
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ
جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ
أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا
قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ
قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya : “Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah
datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: “Sesungguhnya
ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat
menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?”. Beliau
menjawab: “Tunaikanlah haji untuknya”. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu
mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada
Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar”.(HR. Bukhari)
Mazhab Imam Malik hanya
membenarkan menghajikan orang yang telah meniggal dunia—bukan yang uzur—itupun
kalau almarhum semasa hidupnya telah mewasiatkan agar dihajikan, dan dengan
syarat menggunakan biaya dari harta yang ditinggalkannya selama tidak melebihi
sepertiga. Namun demikian, walaupun hal ini dibenarkan oleh ulama mazhab
Maliki, mereka tidak mengenjurkannya, bahkan menilainya makruh, dalam arti
tidak dianjurkan oleh agama.[10]
Selayaknya
ibadah-ibadah lain dalam islam, dalam badal haji pun terdapat syarat-syarat
yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu:
a.
Fisik orang yang dibadalkan terus
menerus berada dalam kondisi lemah hingga akhir hayatnya.
b.
Ibadah haji tersebut diniatkan atas
nama orang yang diwakilkan.
c.
Semua biaya harus ditanggung oleh
orang yang dihajikan.
d.
Hendaknya orang yang mengerjakan
ibadah haji dilakukan sesuai dengan permintaan.
e.
Perwakilan haji ini hanya berlaku
untuk satu orang. Dengan demikian, maka orang yang menggantikan dua orang
sekaligus maka hajinya tidak sah.
f.
Disyaratkan bagi orang yang
menggantikan harus dewasa, berakal, merdeka dan laki-laki.
g.
Disyaratkan pula si pengganti telah
menunaikan ibadah haji. Hal ini didasarkan pada pendapat madzhab Syafi’i dan
Hambali, Orang yang menggantikan harus melaksanakan seluruh rangkaian ibadah
haji dengan sempurna. Jika ada kesalahan yang dilakukannya sehingga faedah
tersebut menjadi batal atau rusak, ia harus menggantinya. Sebagaimana pada
hadist Nabi dari Ibnu Abbas ra.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ
قَالَ مَنْ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا
قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Artinya : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalla
Allahu 'alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan “Labbaika ‘an
Syubrumah” (ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya:
"Siapakah Syubrumah tersebut?" Dia menjawab; saudaraku! Atau
kerabatku! Beliau bertanya: "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk
dirimu sendiri?" Dia menjawab; belum! Beliau berkata: "Laksanakan
haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.”(HR. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Sedangakan
menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang yang belum haji boleh menghajikan
orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum
haji untuk dirinya sendiri.[11]
Jelaslah,
bahwa sahnya ibadah haji seseorang tidak tergantung orang yang bersangkutan
harus melakukan sendiri, melainkan bisa dilakukan oleh anaknya atau saudaranya
atau orang lain. Demikian pula biaya hajinya tidak harus dikeluarkan dari
hartanya sendiri, melainkan bisa dibayar oleh anaknya, orang lain, atau oleh
suatu lembaga pemerintah atau swasta dengan tugas atau tanpa tugas; termasuk
biaya hajinya yang didapat melalui undian berhadiah. Sebab yang menentukan
sah/tidaknya ibadah haji itu adalah dipenuhi/tidaknya syarat dan rukunnya haji,
sedangkan pembayaran biaya haji oleh yang bersangkutan sendiri bukan termasuk
rukun dan syarat syahnya haji.
Namun
demikian, uang yang dipakai untuk keperluan haji dan sebagainya harus dari
harta yang halal agar hajinya dapat diterima oleh Allah SWT sebagai haji
mabrur, sebagaimana dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim :
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَايَقْبَلُ اِلَّاطَيِّبًا.
Artinya
: “Sesungguhnya Allah itu baik, ia tidak mau menerima kecuali yang baik.
Perlu
diketahui, bahwa nilai ibadah haji seseorang atau dengan kata lain tingkatan
kemabruran hajinya adalah tergantung kepada hal-hal sebagai berikut :
1.
Baik/tidaknya niat melakukan haji,
misalnya ikhlas karena Allah, atau untuk riya, atau untuk tujuan politik.
2.
Sempurna/tidaknya melaksanakan
rukun-rukun haji dan kewajiban-kewajibannya.
3.
Mampu/tidaknya meninggalkan hal-hal
yang dilarang dilakukan selama ibadah haji, terutama larangan bicara yang tidak
senonoh, larangan berbuat maksiat, dan larangan bertengkar, sebagaimana firman
Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 197 :
kptø:$# Ößgô©r&
×M»tBqè=÷è¨B
4 `yJsù uÚtsù
ÆÎgÏù ¢kptø:$#
xsù
y]sùu
wur
XqÝ¡èù wur
tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur
(#qè=yèøÿs? ô`ÏB
9öyz
çmôJn=÷èt
ª!$#
3 (#rߨrts?ur cÎ*sù
uöyz
Ï#¨9$#
3uqø)G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur
Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ
Artinya : (Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.
4.
Banyak/sedikit dalam melakukan sunnah dalam
ibadah haji. Misalnya, mandi, shalat dua raka’at, membaca takbir dan tahlil
waktu melihat ka’bah, membaca talbiyah dan sebagainya.[12]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Badal secara lughawi
berarti mengganti, merubah atau menukar. Dengan demikian yang dimaksud haji
badal adalah ibadah haji seseorang yang pelaksanaannya diwakilkan atau
digantikan oleh orang lain menurut
syarat-syarat tertentu. Para ulama sepakat tentang kebolehan membadal haji,
namun menurut madzhab Maliki tidak mewajibkan selama orang tersebut tidak
berwasiat.
Dengan kata lain, haji
badal muncul berkaitan dengan seseorang yang telah dikategorikan wajib haji
(terutama dari segi ekonomi) tapi tidak mampu melakukannya sendiri karena
adanya halangan yang dilegalkan oleh syariat Islam. Maka dapat dipahami bahwa haji
badal dilakukan dalam salah satu dari dua kondisi; ketika yang diwakilkan
masih hidup atau yang diwakilkan telah meninggal dunia.
Sahnya
ibadah haji seseorang tidak tergantung orang yang bersangkutan harus melakukan
sendiri, melainkan bisa dilakukan oleh anaknya atau saudaranya atau orang lain.
Demikian pula biaya hajinya tidak harus dikeluarkan dari hartanya sendiri, melainkan
bisa dibayar oleh anaknya, orang lain, atau oleh suatu lembaga pemerintah atau
swasta dengan tugas atau tanpa tugas; termasuk biaya hajinya yang didapat
melalui undian berhadiah. Sebab yang menentukan sah/tidaknya ibadah haji itu
adalah dipenuhi/tidaknya syarat dan rukunnya haji, sedangkan pembayaran biaya
haji oleh yang bersangkutan sendiri bukan termasuk rukun dan syarat syahnya
haji.
B.
Saran
Pemakalah
sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, jadi pemakalah berharap
kepada pembaca terutama dosen pembimbing untuk memberikan masukan dan saran
yang mendukung.