Recent Posts

Welcome to My Blog

Senin, 11 September 2017

Makalah Pengembangan Kurikulum - Asas Kurikulum


BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Kurikulum merupakan sesuatu yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, sudah beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman, guna mencapai hsil yang maksimal.
Dunia pendidikan dibangun berdasarkan asas atau dasar negara yang berlaku. Di Indonesia, asas pendidikan tentunya berkaitan langsung dengan asas negara yaitu Pancasila. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia berlandaskan Pancasila dan asas pendidikan pun tak lepas dari kurikulum pendidikan yang sedang diterapkan. Untuk itu lahirlah “asas kurikulum” yang menjadi dasar pelaksanaan tiap kurikulum yang ada. Untuk lebih jelas akan pemakalah urai tentang asas kurikulum pada bab selanjutnya.
      B.     Rumusan Masalah 
             1.      Apa pengertian dari asas kurikulum? 
             2.      Apa saja asas-asas kurikulum?
      C.    Tujuan dan Manfaat 
             1.      Untuk mengetahui pengertian asas kurikulum 
             2.      Untuk mengetahui asas-asas kurikulum
  
BAB II
PEMBAHASAN
ASAS KURIKULUM

      A.    Pengertian Asas Kurikulum
Pada dasarnya dalam mengembangkan kurikulum diperlukan pertimbangan dan banyak pertanyaan yang dapat diajukan untuk diperhitungkan. Misalnya: apa yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan? Apakah kebutuhan yang diutamakan anak pada saat sekarang atau saat mendatang? Apakah pelajaran akan didasarkan atas disiplin ilmu atau kah dipusatkan pada masalah sosial dan pribadi? Apakah seluruh kurikulum sama bagi semua sekolah? Apakah hasil belajar anak akan diuji secara uniform atau diserahkan pada guru yang membimbing? Semua pertanyaan itu menyangkut asas-asas yang mendasari setiap kurikulum.[1]
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan seharusnya ada suatu asas atau dasar yang melandasi dilakukannya kegiatan tersebut atau ada asas yang dijadikan dasar pertimbangan kegiatan itu. Asas kurikulum adalah pedoman pemikiran yang dijadikan dasar untuk membuat perencanaan arah proses pembelajaran.[2]
      B.     Asas-Asas Pengembangan Kurikulum
1.      Asas Filosofis
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu philosophia (philore = cinta, senang, suka, dan sophia = kebaikan atau kebenaran). Menurut asal katanya, filsafat berarti cinta akan kebenaran. Orang yang berfilsafat adalah orang yang senang dengan kebenaran.
Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Untuk tiap keputusan harus ada dasrnya. Filsafat adalah cara berpikir yang sedalam-dalamnya,yakni sampai akarnya tentang hakikat sesuatu.
Ada orang yang berpendapat bahwa guru tak perlu mempelajari filsafat, karena sangat abstrak dan karena itu tak praktis dan tidak ada manfaatnya bagi pekerjaannya. Pendirian itu terlampau picik, karena apa yang dilakukan guru harus didasarkan pada apa yang dipercayai, diyakininya sebagai benar dan baik. Filsafat itu antara lain menentukan kepercayaan kita tentang apakah hakikat manusia, khususnya hakikat anak dan sifat-sifatnya, apakah sumber kebenaran dan nilai-nilai yang hendaknya menjadi pegangan hidup kita, tentang apakah yang baik, apakah hidup yang baik, apakah yang sebaiknya diajarkan kepada anak didik, apakah peranan sekolah dalam masyarakat, apakah peranan guru dalam proses mengajar dan lain-lain.[3]
Tujuan pendidikan (goal, objektive, atau purpose) berfungsi bukan saja bersifat mengarahkan, tetapi juga menjadi dasar dalam menentukan isi pelajaran, metode dan prosedur pengajaran maupun penilaian, bahkan mendasari motivasi kerja murid dan guru sekolah. Melihat fungsi yang sedemikian penting ini, maka jelaslah bahwa tujuan bahwa tujuan pendidikan merupakan dasar yang sangat penting dalam penyusunan kurikulum. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika tujuan pendidikan mendapat kesempatan pertama dalam pembahasan masalah kurikulum ini, dalam rangka realisasi sistem pendidikan nasional.[4]
Setiap negara tentu mempunyai filsafat yang berbeda. Artinya landasan filosofis dan tujuan pendidikannya juga berbeda. Di Indonesia, landasan filosofis pengembangan sistem pendidikan nasional secara formal adalah Pancasila yang terdiri atas lima sila, yaitu :
a) Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Kemanusiaan yang adil dan beradab, c) Persatuan Indonesia, d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuisyawaratan/perwakilan, dan e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Implikasinya bagi pengembang kurikulum adalah :
a.    Nilai-nilai pancasila harus dipelajari secara mendalam dan komprehensif sesuai dengan sifat kajian filsafat, baik dari segi ontologi, epistemologi da aksiologi.
b.    Kelima sila tersebut berisi nilai-nilai moral yang luhur sebagai dasar dan sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan pada setiap tingkatan memilih dan mengembangkan isi/bahan kurikulum, stategi pembelajaran, media pembelajaran dan sistem evaluasi.[5]
2.      Asas Psikologis
Pengembangan kurikulum dipengarui oleh kondisi psikologis individu yang terlibat di dalamnya, karena apa yang ingin disampaikan menuntut peserta didik untuk melakukan perbuatan belajar atau sering disebut proses belajar dalam proses  pembelajaran juga terjadi interaksi yang bersifat mutiarah antara peserta didik dengan pendidik  (guru).
a.       Psikologi Anak
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan situasi-situasi dimana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakatnya. Selama berabad-abad anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada orang dewasa dan karena itu mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Baru setelah Rousseau anak itu dikenal sebagai anak dan dilakukan penelitian ilmiah untuk lebih mengenalnya, menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Timbullah aliran yang disebut progresif, bahkan kurikulumyang semata-mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak, yaitu “Child-contered curriculum”. Kurikulum ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang ditentukan oleh orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan dan minat anak.
Tentu saja kurikulum yang begitu ekstrim mengutamakan salah satu dasar akan mempunyai kekurangan-kekurangan. Namun gerakan ini tak dapat tiada menarik perhatian para pendidik, khususnya para pengembang kurikulum, untuk selalu menjadikan anak sebagai salah satu pokok pemikiran.[6]
2)      Psikologi Perkembangan
Tujuan akhir pendidikan adalah agar peserta didik menjadi manusia-manusia terdidik. Asumsinya, setiap peserta didik dapat dibimbing ,dilatih dan dididik (educade). Mortiner J. Adler (1982) mengemukakan “children are aducable in varying degrees, but variation in degree must be of the same kind and quality of education” juka terjadi kegagalan berarti kegagalan guru, orang tua, dan masyarakat, bukan kegagalan peserta didik karena tidak ada peserta didik yang unteachable. Untuk menjadi manusia terdidik tentu peserta didik tidak dapat hanya mengikuti pendidikan formal saja melainkan harus ditopang dengan pendidikan non formal dan pendidikan informal. Tidak hanya mempelajari pendidikan umum saja melainkan pendidikan agama, pendidikan kejujuran , pendidikan teknologi, pendidikan bahasa dan seni, pendidikan humaniora dan lain-lain sesuai dengan aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional. Seseorang dapat menjadi manusia terdidik apabila ia sudah mencapai kematangan. Kematangan hanya dapat dicapai melalui kehidupan orang dewasa dan kedalaman pengalaman.[7]
3)      Psikologi Belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana peserta didik melakukan perbuatan belajar. Pengertian belajar banyak ragamnya, bergantung pada teori belajar yang dianut. Namun demikian, secara umum, belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan. Perubahan tingkah laku dapat berbentuk pengetahuan, keterampilan, sikap atau nilai-nilai. Perubahan tingkah laku karena insting, kematangan, atau pengaruh zat-zat kimia tidak termasuk perbuatan belajar.[8]
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana peserta didik melakukan perbuatan belajar. Pengertian belajar banyak ragamnya tergantung teori belajar yang dianut. Namun demikian secara umum , belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan. Perubahan tingkah laku dapat terbentuk pengetahuan, ketrampilan ,sikap atas nilai-nila. Perubahan tingkah laku karena insting, kematangan atau pengaruh zat-zat kimia tidak termasuk perbuatan belajar.
Sekolah berfungsi menciptakan lingkungan belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah perlu menyusun suatu program yang tepat dan serasi, sehingga memungkinkan para siswa melakukan kegiatan belajar secara efisien dan berhasil. Program tersebut dinamakan dengan kuikulum. Itulah sebabnya permasalahan belajar dan psikologi belajar dan sifat-sifat belajar perlu mendapat perhatian dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum.[9]
Oleh sebab belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan komplek, maka timbullah berbagai teori belajar yang menunjukan ketidaksesuaian satu sama lain. Penelitian dilakukan untuk lebih mendalam memahami proses belajar ini, banyak di antaranya dengan melakukan eksperimen.
Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar-mengajar.Dengan demikian ada hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi anak. Karena hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadi salah satu dasar kurikulum.
Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum pengetahuan tentang psikologi anak dan bagaimana anak belajar, sangat diperlukan, antara lain :
a.         Seleksi dan organisasi bahan pelajaran
b.         Menentukan kegiatan belajar paling serasi
c.         Merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tercapai tujuan belajar tercapai.[10]
Sebagai kesimpulan implikasi belajar dalam pengembangan kurikulum adalah :
1.         Perencanaan kurikulum harus bersifat fleksibel (luwe) dan menyediakan suatu program yang luas guna pengembangan berbagai pengalaman belajar.
2.         Kurikulum harus dikembangkan berdasarkan latar belakang siswa dan keseluruhan lingkungannya, agar pengalaman belajar yang diperolehnya mempunyai makna dan tujuan.
3.         Pengembangan kurikulum hendaknya memberikan pengalaman yang serasi dengan kebutuhan penyesuaian diri dan pengembangan kepribadian yang terintegrasi.
4.         Kurikulum disusun dan dilaksanakan dengan memperhatikan kesiapan para siswa, karena hal ini mempengaruhi proses pendidikan.
5.         Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum hendaknya memungkinkan partisipasi aktif dan tanggung jawab para siswa , baik secara perorangan maupun kelompok.
6.         Penyusunan kurikulum hendaknya terdiri atas unit-unit yang luas dan menyeluruh, serta memadukan pola pengalaman yang bermakna dan bertujuan.
7.         Dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kurikulum hendaknya diberikan serangkaian pengalaman yang melibatkan para guru dan siswa secara bersama, sehingga akan mendorong keberhasilan belajar para siswa tersebut.
8.         Penyusunan kurikulum hendaknya disertai dengan kegiatan evaluasi, faktor penting yang mempengaruhi proses dan hasil pendidikan.[11]
3.      Asas Sosiologis
Dilihat dari segi Sosiologis bahwa masyarakat Indnoesia bersifat plural, serba ganda dan beragam, sehingga tidak adil bila segala-galanya harus disamakan. Karena itu, pengembangan kurikulum harus mampu memberi peluang kepada masing-masing lembaga pendidikan untuk berimprovisasi dan berkreasi dalam mengembangkan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.[12] Tiap kurikulum mencerminkan keinginan, cita-cita, tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah memang didirikan oleh dan untuk masyarakat. Sudah sewajarnya pendidikan harus memperhatikan dan merespons terhadap suara-suara masyarakat.[13]
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik hidup dalam kehidupan masyarakat. Asumsinya adalah peserta didik berasal dari masyarakat, dididik oleh masyarakat ,dan harus kembali ke masyarakat. Ketika peserta didik kembali  ke masyarakat tentu ia dapat harus dibekali dengan sejumlah kompetisi, sehingga ia dapat berbakti dan berguna bagi masyarakat. Kompetisi yang dimaksud adalah sejumlah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diperoleh peserta didik melalaui berbagai kegiatan dan pengalaman belajar disekolah.
Kegiatan dan pengalaman belajar tersebut diorganisasi dalam pendekatan dan format tertentu yang disebut kurikulum. Berdasarkan alur pemikiran ini ,maka sangat logis jika pengembangan kurikulum berlandaskan pada kebutuhan masyarakat. Di samping itu, dasar pemikiran lain adalah kurikulum merupakan bagian dari pendidikan dan pendidikan merupakan bagian dari masyarakat. Dengan demikian, sangat wajar apabila pengembangan kurikulum harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan harus ditunjang oleh masyarakat.[14]
4.      Asas Organisatoris
Asas ini berkenaan dengan masalah , dalam bentuk yang bagaimana bahan pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan, misalnya dalam bentuk broad-field atau bidang studi sperti IPA, IPS, Bahasa dan lain-lain. Ataukah diusahakan hubungan secara lebih mendalam dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran, jadi dalam bentuk kurikulum yang terpadu.
Ilmu jiwa asosiasi yang berpendirian bahwa keseluruhan sama dengan jumlah bagian-bagiannya cenderung memilih kurikulum yang subject-centered atau yang berpusat pada mata pelajaran, yang dengan sendirinya akan terpisah-pisah. Sebaliknya ilmu jiwa Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan, karena keseluruhan itu bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Aliran psikologi ini lebih cenderung memilih kurikulum terpadu atau integrated kurikulum.
Kembali perlu di ingatkan, bahwa tidak ada kurikulum yang baik dan tidak setiap organisasi kurikulum mempunyai kebaikan akan tetapi tidak lepas dari kekurangan di tinjau dari segi-segi tertentu. Selain itu bermacam-macam organisasi kurikulum dapat dijalankan secara bersama di satu sekolah, bahkan yang satu dapat membantu atau melengkapi yang satu lagi.
Kurikulum yang bagaimana yang harus dipilih? Pertanyaan itu diajukan karena macamnya kemungkinan. Dalam mengembangkan kurikulum harus diadakan pilihan, jadi, selalu hasil semacam kompromi antara anggota panitia kurikulum. Sering dikatakan bahwa “curriculum is amatter of choice”, kurikulum adalah soal pilihan. Dalam hal ini pilihan banyak bergantung pada pendirian atau sikap seseorang tentang pendidikan. Pada umumnya dapat dibedakan dua pendirian utama, yakni yang tradisional dan yang progresif.[15]

BAB III
PENUTUP
      A.    Kesimpulan
Asas-asas dalam pengembangan kurikulum yang perlu diperhatikan adalah, dengan asas falsafah, maka akan terarah, sebab segala keputusan yang diambil mengenai pendidikan atau kurikulum, bila tanpa landasan falsafah maka layaknya seperti kapal tanpa pengemudi, demikian juga dengan asas psikologis dan sosiologis, kurikulumlah yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan minat, dan taraf perkembangan anak. Oleh karena kurikulum merupakan bagian dari pendidikan dan pendidikan merupakan bagian dari masyarakat. maka sangat wajar apabila pengembangan kurikulum harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan harus ditunjang oleh masyarakat.
Selain itu pula organisatoris juga harus menjadi landasan  dalam pengembangan kurikulum ,karena  pada kenyataannya bermacam-macam organisasi kurikulum dapat dijalankan secara bersama di satu sekolah, dan dapat membantu atau melengkapi yang lainnya, oleh sebab itu pilihan yang tepat dan terbaik seharusnya hasil kompromi antara anggota panitia kurikulum.
      B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat berterimakasih apabila ada saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna makalah ini.


1 komentar:

Devi lindasari mengatakan...

Daftar pustaka nya mana pak?😢