BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kurikulum merupakan sesuatu yang
sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai
dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang
diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, sudah beberapa kali diadakan
perubahan dan perbaikan kurikulum yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman, guna mencapai hsil yang
maksimal.
Dunia pendidikan dibangun
berdasarkan asas atau dasar negara yang berlaku. Di Indonesia, asas pendidikan
tentunya berkaitan langsung dengan asas negara yaitu Pancasila. Oleh karena
itu, pendidikan di Indonesia berlandaskan Pancasila dan asas pendidikan pun tak
lepas dari kurikulum pendidikan yang sedang diterapkan. Untuk itu lahirlah
“asas kurikulum” yang menjadi dasar pelaksanaan tiap kurikulum yang ada. Untuk
lebih jelas akan pemakalah urai tentang asas kurikulum pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dari asas kurikulum?
2. Apa saja asas-asas kurikulum?
1. Apa pengertian dari asas kurikulum?
2. Apa saja asas-asas kurikulum?
C.
Tujuan
dan Manfaat
1. Untuk mengetahui pengertian asas kurikulum
2. Untuk mengetahui asas-asas kurikulum
1. Untuk mengetahui pengertian asas kurikulum
2. Untuk mengetahui asas-asas kurikulum
BAB
II
PEMBAHASAN
ASAS
KURIKULUM
A.
Pengertian
Asas Kurikulum
Pada dasarnya dalam mengembangkan
kurikulum diperlukan pertimbangan dan banyak pertanyaan yang dapat diajukan
untuk diperhitungkan. Misalnya: apa yang ingin dicapai suatu lembaga
pendidikan? Apakah kebutuhan yang diutamakan anak pada saat sekarang atau saat
mendatang? Apakah pelajaran akan didasarkan atas disiplin ilmu atau kah dipusatkan
pada masalah sosial dan pribadi? Apakah seluruh kurikulum sama bagi semua
sekolah? Apakah hasil belajar anak akan diuji secara uniform atau diserahkan
pada guru yang membimbing? Semua pertanyaan itu menyangkut asas-asas yang
mendasari setiap kurikulum.[1]
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan
seharusnya ada suatu asas atau dasar yang melandasi dilakukannya kegiatan
tersebut atau ada asas yang dijadikan dasar pertimbangan kegiatan itu. Asas
kurikulum adalah pedoman pemikiran yang dijadikan dasar untuk membuat
perencanaan arah proses pembelajaran.[2]
B.
Asas-Asas
Pengembangan Kurikulum
1.
Asas
Filosofis
Kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu philosophia (philore = cinta, senang, suka, dan
sophia = kebaikan atau kebenaran). Menurut asal katanya, filsafat berarti
cinta akan kebenaran. Orang yang berfilsafat adalah orang yang senang dengan
kebenaran.
Filsafat sangat penting karena harus
dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Untuk
tiap keputusan harus ada dasrnya. Filsafat adalah cara berpikir yang
sedalam-dalamnya,yakni sampai akarnya tentang hakikat sesuatu.
Ada orang yang berpendapat bahwa
guru tak perlu mempelajari filsafat, karena sangat abstrak dan karena itu tak
praktis dan tidak ada manfaatnya bagi pekerjaannya. Pendirian itu terlampau
picik, karena apa yang dilakukan guru harus didasarkan pada apa yang
dipercayai, diyakininya sebagai benar dan baik. Filsafat itu antara lain
menentukan kepercayaan kita tentang apakah hakikat manusia, khususnya hakikat
anak dan sifat-sifatnya, apakah sumber kebenaran dan nilai-nilai yang hendaknya
menjadi pegangan hidup kita, tentang apakah yang baik, apakah hidup yang baik,
apakah yang sebaiknya diajarkan kepada anak didik, apakah peranan sekolah dalam
masyarakat, apakah peranan guru dalam proses mengajar dan lain-lain.[3]
Tujuan pendidikan (goal, objektive,
atau purpose) berfungsi bukan saja bersifat mengarahkan, tetapi juga
menjadi dasar dalam menentukan isi pelajaran, metode dan prosedur pengajaran
maupun penilaian, bahkan mendasari motivasi kerja murid dan guru sekolah.
Melihat fungsi yang sedemikian penting ini, maka jelaslah bahwa tujuan bahwa
tujuan pendidikan merupakan dasar yang sangat penting dalam penyusunan
kurikulum. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika tujuan pendidikan mendapat
kesempatan pertama dalam pembahasan masalah kurikulum ini, dalam rangka
realisasi sistem pendidikan nasional.[4]
Setiap negara tentu mempunyai
filsafat yang berbeda. Artinya landasan filosofis dan tujuan pendidikannya juga
berbeda. Di Indonesia, landasan filosofis pengembangan sistem pendidikan
nasional secara formal adalah Pancasila yang terdiri atas lima sila, yaitu :
a) Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Kemanusiaan yang adil dan beradab, c) Persatuan
Indonesia, d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuisyawaratan/perwakilan,
dan e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Implikasinya bagi pengembang
kurikulum adalah :
a. Nilai-nilai pancasila harus dipelajari secara mendalam
dan komprehensif sesuai dengan sifat kajian filsafat, baik dari segi ontologi,
epistemologi da aksiologi.
b. Kelima sila tersebut berisi nilai-nilai moral yang
luhur sebagai dasar dan sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan pada setiap
tingkatan memilih dan mengembangkan isi/bahan kurikulum, stategi pembelajaran,
media pembelajaran dan sistem evaluasi.[5]
2.
Asas
Psikologis
Pengembangan kurikulum dipengarui
oleh kondisi psikologis individu yang terlibat di dalamnya, karena apa yang
ingin disampaikan menuntut peserta didik untuk melakukan perbuatan belajar atau
sering disebut proses belajar dalam proses
pembelajaran juga terjadi interaksi yang bersifat mutiarah antara
peserta didik dengan pendidik (guru).
a.
Psikologi Anak
Sekolah didirikan untuk anak, untuk
kepentingan anak, yakni menciptakan situasi-situasi dimana anak dapat belajar
untuk mengembangkan bakatnya. Selama berabad-abad anak tidak dipandang sebagai
manusia yang lain daripada orang dewasa dan karena itu mempunyai kebutuhan
sendiri sesuai dengan perkembangannya. Baru setelah Rousseau anak itu
dikenal sebagai anak dan dilakukan penelitian ilmiah untuk lebih mengenalnya,
menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Timbullah aliran yang
disebut progresif, bahkan kurikulumyang semata-mata didasarkan atas minat dan
perkembangan anak, yaitu “Child-contered curriculum”. Kurikulum ini
dapat dipandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang ditentukan oleh orang
dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan dan minat anak.
Tentu saja kurikulum yang begitu
ekstrim mengutamakan salah satu dasar akan mempunyai kekurangan-kekurangan.
Namun gerakan ini tak dapat tiada menarik perhatian para pendidik, khususnya
para pengembang kurikulum, untuk selalu menjadikan anak sebagai salah satu
pokok pemikiran.[6]
2) Psikologi Perkembangan
Tujuan akhir pendidikan adalah agar
peserta didik menjadi manusia-manusia terdidik. Asumsinya, setiap peserta didik
dapat dibimbing ,dilatih dan dididik (educade). Mortiner J. Adler (1982)
mengemukakan “children are aducable in varying degrees, but variation in
degree must be of the same kind and quality of education” juka terjadi
kegagalan berarti kegagalan guru, orang tua, dan masyarakat, bukan kegagalan
peserta didik karena tidak ada peserta didik yang unteachable. Untuk
menjadi manusia terdidik tentu peserta didik tidak dapat hanya mengikuti
pendidikan formal saja melainkan harus ditopang dengan pendidikan non formal
dan pendidikan informal. Tidak hanya mempelajari pendidikan umum saja melainkan
pendidikan agama, pendidikan kejujuran , pendidikan teknologi, pendidikan
bahasa dan seni, pendidikan humaniora dan lain-lain sesuai dengan aspek-aspek
yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional. Seseorang dapat menjadi
manusia terdidik apabila ia sudah mencapai kematangan. Kematangan hanya dapat
dicapai melalui kehidupan orang dewasa dan kedalaman pengalaman.[7]
3) Psikologi Belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu
yang mempelajari tentang bagaimana peserta didik melakukan perbuatan belajar.
Pengertian belajar banyak ragamnya, bergantung pada teori belajar yang dianut.
Namun demikian, secara umum, belajar dapat diartikan sebagai suatu proses
perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan. Perubahan
tingkah laku dapat berbentuk pengetahuan, keterampilan, sikap atau nilai-nilai.
Perubahan tingkah laku karena insting, kematangan, atau pengaruh zat-zat kimia
tidak termasuk perbuatan belajar.[8]
Psikologi belajar merupakan ilmu
yang mempelajari tentang bagaimana peserta didik melakukan perbuatan belajar.
Pengertian belajar banyak ragamnya tergantung teori belajar yang dianut. Namun
demikian secara umum , belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan. Perubahan tingkah
laku dapat terbentuk pengetahuan, ketrampilan ,sikap atas nilai-nila. Perubahan
tingkah laku karena insting, kematangan atau pengaruh zat-zat kimia tidak
termasuk perbuatan belajar.
Sekolah berfungsi menciptakan
lingkungan belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh
karena itu, sekolah perlu menyusun suatu program yang tepat dan serasi,
sehingga memungkinkan para siswa melakukan kegiatan belajar secara efisien dan
berhasil. Program tersebut dinamakan dengan kuikulum. Itulah sebabnya
permasalahan belajar dan psikologi belajar dan sifat-sifat belajar perlu
mendapat perhatian dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum.[9]
Oleh sebab belajar itu ternyata suatu
proses yang pelik dan komplek, maka timbullah berbagai teori belajar yang
menunjukan ketidaksesuaian satu sama lain. Penelitian dilakukan untuk lebih
mendalam memahami proses belajar ini, banyak di antaranya dengan melakukan
eksperimen.
Teori belajar dijadikan dasar bagi
proses belajar-mengajar.Dengan demikian ada hubungan yang erat antara kurikulum
dan psikologi anak. Karena hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadi
salah satu dasar kurikulum.
Dalam mengambil keputusan tentang
kurikulum pengetahuan tentang psikologi anak dan bagaimana anak belajar, sangat
diperlukan, antara lain :
a.
Seleksi dan organisasi bahan
pelajaran
b.
Menentukan kegiatan belajar paling
serasi
c.
Merencanakan kondisi belajar yang
optimal agar tercapai tujuan belajar tercapai.[10]
Sebagai kesimpulan implikasi belajar
dalam pengembangan kurikulum adalah :
1.
Perencanaan kurikulum harus bersifat
fleksibel (luwe) dan menyediakan suatu program yang luas guna pengembangan
berbagai pengalaman belajar.
2.
Kurikulum harus dikembangkan
berdasarkan latar belakang siswa dan keseluruhan lingkungannya, agar pengalaman
belajar yang diperolehnya mempunyai makna dan tujuan.
3.
Pengembangan kurikulum hendaknya
memberikan pengalaman yang serasi dengan kebutuhan penyesuaian diri dan
pengembangan kepribadian yang terintegrasi.
4.
Kurikulum disusun dan dilaksanakan
dengan memperhatikan kesiapan para siswa, karena hal ini mempengaruhi proses
pendidikan.
5.
Pengembangan dan pelaksanaan
kurikulum hendaknya memungkinkan partisipasi aktif dan tanggung jawab para
siswa , baik secara perorangan maupun kelompok.
6.
Penyusunan kurikulum hendaknya
terdiri atas unit-unit yang luas dan menyeluruh, serta memadukan pola
pengalaman yang bermakna dan bertujuan.
7.
Dalam proses penyusunan dan
pelaksanaan kurikulum hendaknya diberikan serangkaian pengalaman yang
melibatkan para guru dan siswa secara bersama, sehingga akan mendorong
keberhasilan belajar para siswa tersebut.
8.
Penyusunan kurikulum hendaknya
disertai dengan kegiatan evaluasi, faktor penting yang mempengaruhi proses dan
hasil pendidikan.[11]
3.
Asas
Sosiologis
Dilihat dari segi Sosiologis bahwa
masyarakat Indnoesia bersifat plural, serba ganda dan beragam, sehingga tidak
adil bila segala-galanya harus disamakan. Karena itu, pengembangan kurikulum
harus mampu memberi peluang kepada masing-masing lembaga pendidikan untuk
berimprovisasi dan berkreasi dalam mengembangkan pendidikan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya.[12]
Tiap kurikulum mencerminkan keinginan, cita-cita, tuntutan dan kebutuhan
masyarakat. Sekolah memang didirikan oleh dan untuk masyarakat. Sudah
sewajarnya pendidikan harus memperhatikan dan merespons terhadap suara-suara
masyarakat.[13]
Salah satu tujuan pendidikan adalah
untuk mempersiapkan peserta didik hidup dalam kehidupan masyarakat. Asumsinya
adalah peserta didik berasal dari masyarakat, dididik oleh masyarakat ,dan
harus kembali ke masyarakat. Ketika peserta didik kembali ke masyarakat tentu ia dapat harus dibekali
dengan sejumlah kompetisi, sehingga ia dapat berbakti dan berguna bagi
masyarakat. Kompetisi yang dimaksud adalah sejumlah pengetahuan, keterampilan, sikap
dan nilai-nilai yang diperoleh peserta didik melalaui berbagai kegiatan dan
pengalaman belajar disekolah.
Kegiatan dan pengalaman belajar
tersebut diorganisasi dalam pendekatan dan format tertentu yang disebut
kurikulum. Berdasarkan alur pemikiran ini ,maka sangat logis jika pengembangan
kurikulum berlandaskan pada kebutuhan masyarakat. Di samping itu, dasar
pemikiran lain adalah kurikulum merupakan bagian dari pendidikan dan pendidikan
merupakan bagian dari masyarakat. Dengan demikian, sangat wajar apabila
pengembangan kurikulum harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan harus
ditunjang oleh masyarakat.[14]
4.
Asas
Organisatoris
Asas ini berkenaan dengan masalah ,
dalam bentuk yang bagaimana bahan pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk
mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara
pelajaran yang diberikan, misalnya dalam bentuk broad-field atau bidang
studi sperti IPA, IPS, Bahasa dan lain-lain. Ataukah diusahakan hubungan secara
lebih mendalam dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran, jadi
dalam bentuk kurikulum yang terpadu.
Ilmu jiwa asosiasi yang berpendirian
bahwa keseluruhan sama dengan jumlah bagian-bagiannya cenderung memilih
kurikulum yang subject-centered atau yang berpusat pada mata pelajaran,
yang dengan sendirinya akan terpisah-pisah. Sebaliknya ilmu jiwa Gestalt lebih
mengutamakan keseluruhan, karena keseluruhan itu bermakna dan lebih relevan
dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Aliran psikologi ini lebih cenderung
memilih kurikulum terpadu atau integrated kurikulum.
Kembali perlu di ingatkan, bahwa
tidak ada kurikulum yang baik dan tidak setiap organisasi kurikulum mempunyai
kebaikan akan tetapi tidak lepas dari kekurangan di tinjau dari segi-segi
tertentu. Selain itu bermacam-macam organisasi kurikulum dapat dijalankan
secara bersama di satu sekolah, bahkan yang satu dapat membantu atau melengkapi
yang satu lagi.
Kurikulum yang bagaimana yang harus
dipilih? Pertanyaan itu diajukan karena macamnya kemungkinan. Dalam
mengembangkan kurikulum harus diadakan pilihan, jadi, selalu hasil semacam
kompromi antara anggota panitia kurikulum. Sering dikatakan bahwa “curriculum
is amatter of choice”, kurikulum adalah soal pilihan. Dalam hal ini pilihan
banyak bergantung pada pendirian atau sikap seseorang tentang pendidikan. Pada
umumnya dapat dibedakan dua pendirian utama, yakni yang tradisional dan yang
progresif.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Asas-asas dalam pengembangan
kurikulum yang perlu diperhatikan adalah, dengan asas falsafah,
maka akan terarah, sebab segala keputusan yang diambil mengenai pendidikan atau
kurikulum, bila tanpa landasan falsafah maka layaknya seperti kapal tanpa
pengemudi, demikian juga dengan asas psikologis dan sosiologis,
kurikulumlah yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan minat, dan taraf
perkembangan anak. Oleh karena kurikulum merupakan bagian dari pendidikan dan
pendidikan merupakan bagian dari masyarakat. maka sangat wajar apabila
pengembangan kurikulum harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan harus
ditunjang oleh masyarakat.
Selain itu pula organisatoris
juga harus menjadi landasan dalam
pengembangan kurikulum ,karena pada
kenyataannya bermacam-macam organisasi kurikulum dapat dijalankan secara
bersama di satu sekolah, dan dapat membantu atau melengkapi yang lainnya, oleh
sebab itu pilihan yang tepat dan terbaik seharusnya hasil kompromi antara
anggota panitia kurikulum.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini
apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya dan penulis sangat berterimakasih apabila ada saran/kritik
yang bersifat membangun sebagai penyempurna makalah ini.
1 komentar:
Daftar pustaka nya mana pak?😢
Posting Komentar