Recent Posts

Welcome to My Blog

Senin, 11 September 2017

Masailul Fiqh




BAB I
PENDAHULUAN

Haji secara lughat (bahasa)  adalah menyengaja, sedangkan menurut syara’ adalah menyegaja mengunjungi ka’bah dengan tujuan beribadah. Sedangkan Umrah secara lughat (bahasa) adalah berkunjung atau ziarah, sedangkan menurut syara’ adalah sengaja berkunjung ke Ka’bah untuk melakukan ibadah tawaf dan sa’i. Di dalam pelaksanaan haji terdapat hal-hal yang harus terpenuhi yaitu berupa syarat dan rukun haji.  Syarat wajib haji meliputi ; (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Istitha’ah (mampu), (5) Merdeka. Sedangkan rukun haji menurut Imam syafi’i meliputi ; (1) Ihram, (2) Tawaf, (3) Sa’i antara Shafa dan Marwa, (4) Wukuf di Arafah.[1]
Dalam perkembangannya jumlah jamaah haji dan umrah semakin hari kian meningkat sehingga terjadi beberapa masalah terkait pelaksanaan haji dan umrah, seperti keterbatasan tempat sehingga pemerintah Arab Saudi memberlakukan kebijakan – kebijakan antara lain memperluas mina, dan penambahan lantai untuk tempat thawaf. Ternyata kebijakan tersebut menjadi kontroversi dikalangan ulama Indonesia. Perluasan daerah mina ini, membuat adanya pembatasan kuota pemberangkatan calon jamaah haji dan umrah dan lamanya waktu pemberangkatan. Tidak heran banyak para calon jamaah haji dan umrah yang harus digantikan oleh orang lain karena hal ini. Oleh karena itu penulis akan membahas permasalahan-permasalahan terkait ibadah haji dan umrah tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Badal Haji
Badal secara lughawi berarti mengganti, merubah atau menukar. Dengan demikian yang dimaksud haji badal adalah ibadah haji seseorang yang pelaksanaannya diwakilkan atau digantikan oleh orang lain menurut syarat-syarat tertentu. Dengan kata lain, haji badal muncul berkaitan dengan seseorang yang telah dikategorikan wajib haji (terutama dari segi ekonomi) tapi tidak mampu melakukannya sendiri karena adanya halangan yang dilegalkan oleh syariat Islam. Maka dapat dipahami bahwa haji badal dilakukan dalam salah satu dari dua kondisi; ketika yang diwakilkan masih hidup atau yang diwakilkan telah meninggal dunia.[2]
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud haji badal adalah haji yang dilakukan oleh seseorang untuk menggantikan kewajiban haji bagi orang lain dikarenakan adanya udzur, meninggal dunia, dan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.

B.       Niat dan Miqat
1.         Niat
Niat secara bahasa  adalah "maksud
(القصدُ)
 Sementara menurut Syara’ niat adalah
قَصْدُ فعْلِ العبادةِ تَقرُّبًا إلى الله تعالى، بأن يَقْصِد بعملِه اللهَ تعالى دونَ شيءٍ آخرَ، وهذا هو الإخْلاصُ. والعبادةُ إخْلاصُ العملِ بكلّيّتِه لله تعالى
“Maksud mengerjakan sebuah amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tujuan ibadahnya tersebut hanya Allah swt tidak ada tujuan yang lain dan hal ini disebut pula ikhlas. Ibadah adalah pemurnian amal secara keseluruhan hanya kepada Allah semata.”
Ihram adalah niat memulai ibadah haji atau umrah atau kedua-duanya. Hal ini sesuai keterangan hadits shahih dari Aisyah RA, dia berkata, “kami berangkat bersama Rasulullah. Beliau bersabda, “Siapa yang hendak memulai haji dan umrah, hendaklah dia melakukannya; siapa yang hendak memulai haji, hendaklah dia melakukannya; siapa yang hendak memulai umrah, hendaklah dia melakukannya.”
Seorang yang melakukan haji atau umrah dianjurkan melafalkan niat, seperti “Aku niat haji atau umrah”, atau “Aku berihram (haji atau umrah) karena Allah”. Apabila seseorang melaksanakan haji atau umrah atas nama orang lain, niatnya yaitu “Aku berniat haji atau umrah sebagai pengganti orang lain”, atau “Aku ihram atas nama orang lain karena Allah”.
Jamaah haji disunahkan membaca talbiyah bersamaan dengan niat dan mempersering bacaan talbiyah dengan suara keras bagi laki-laki. Kecuali pada awal memulai talbiyah, lakukanlah dengan suara pelan. Demikian menurut pendapat yang mu’tamad.[3]
Adapun dari sumber lain, akan di paparkan niat dari haji dan umrah:
a.         Niat Ibadah Umrah
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ وَأَحْرَمْتُ بِحَ الله تَعَالَى
Artinya : Sahaja aku melakukan umrah dan berihram dengannya karena Allah taala.
b.        Niat Ibadah Haji
نَوَيْتُ الْحَجَّ وَأَحْرَمْتُ بِحَ الله تَعَالَى
Artinya : Sahaja aku melakukan haji dan berihram dengannya karena Allah taala.
c.         Niat Ibadah Umrah dan Haji
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ الْحَجَّ وَأَحْرَمْتُ بِحِمَا الله تَعَالَى
Artinya : Sahaja aku melakukan dan umrah haji dan berihram dengan keduanya karena Allah taala.
d.        Niat Badal Umrah
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ بَدَلاًعَنِ الْمَرْحُوْم __ بن __ \ الْمَرْحُوْمَة __ بنت __ وَأَحْرَمْتُ بِحَ لله تَعَالَى
Artinya : Sahaja aku melakukan umrah gantian untuk fulan bin fulan / si fulanah binti fulan dan berihram dengannya karena Allah taala.
e.         Niat Badal Haji
نَوَيْتُ الْحَجَّ بَدَلاًعَنِ الْمَرْحُوْم __ بن __ \ الْمَرْحُوْمَة __ بنت __  وَأَحْرَمْتُ بِحَ لله تَعَالَى
Artinya : Sahaja aku melakukan haji gantian untuk fulan bin fulan / si fulanah binti fulan dan berihram dengannya karena Allah taala.[4]

2.         Miqat
Mawaqit adalah bentuk jamak dari kata miqat. Arti secara etimologis adalah batas; arti secara terminologis adalah tempat ibadah atau waktunya. Haji memiliki mawaqit berkaitan dengan waktu (Miqat Zamani) dan tempat (Miqat Makani).
a.      Batasan Waktu (Miqat Zamani)
Yaitu ketentuan waktu-waktu untuk sahnya melaksanakan ibadah haji, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 197 :
kptø:$# ֍ßgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4 `yJsù uÚtsù  ÆÎgŠÏù ¢kptø:$# Ÿxsù y]sùu Ÿwur šXqÝ¡èù Ÿwur tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz çmôJn=÷ètƒ ª!$# 3 (#rߊ¨rts?ur  cÎ*sù uŽöyz ÏŠ#¨9$# 3uqø)­G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ  
Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwal dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.
Ayat ini menunjukkan bahwa haji memiliki ketentuan-ketentuan waktu yang telah ditetapkan secara nash, maka tidak boleh melakukan ibadah haji kecuali pada bulan-bulannya yang telah ditentukan. Allah berfirman dalam Q.S. Ath-Thalaaq ayat 1 :
y7ù=Ï?ur...... ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 ...... ÇÊÈ  
Artinya : “....Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri......”.
Apabila seseorang memulai ihram haji sebelum masuk bulannya, maka ibadahnya tidak sah. Ini adalah pendapat seluruh kalangan sahabat. Sementara dari Asy-Sya’bi dan Atha’ menyatakan sah. Al Auza’i dan Syafi’i mengatakan, “amalan tersebut harus menjadi amalan umrah.” Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berkata, “Itu adalah makruh, dan apabila melakukan ihram sebelum masuk bulan haji, maka harus mengulanginya lagi.”[5]
Bulan-bulan haji adalah Syawwal, Dzulqa’da, dan sepuluh hari pada bulan Zulhijjah. Bagi mereka yang melakukan ihram untuk beribadah haji pada bulan-bulan ini, maka ia harus menjauhi apa-apa yang bisa membuat kerusakan dalam ibadah haji, baik berupa perkataan dan perbuatan yang hina. Ia harus sibuk dengan amal kebajikan dan selalu menghiasi diri dengan ketakwaan.[6]

b.        Batasan Tempat (Miqat Makani)
Yaitu tempat yang telah ditentukan syariat, untuk dijadikan batas memulai ihram bagi orang yang ingin melaksanakan haji atau umrah, dan tidak diperkenankan melewatinya—bagi yang bermaksud melaksanakan haji atau umrah—tanpa berihram.
Batasan-batasan ini berlaku bagi mereka yang bermaksud melaksanakan haji atau umrah, baik dia berasal dari penduduk arah (tempat) tersebut atau bukan. Tempat-tempat itu adalah :
1)      Dzul Hulaifah : Miqat untuk penduduk Madinah, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan “Bir Ali”.
2)      Juhfah : Miqat untuk penduduk Syam, Mesir dan Maroko. Ia terletak dekat “Rabigh” yang sekarang telah dijadikan sebagai miqat.
3)      Qarn Al Manazil : Miqat untuk penduduk Najed, yang sekarang lebih dikenal dengan “Wadi As-Sail”.
4)      Yalamlam : Miqat untuk penduduk Yaman.
Rasulullah bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُونَهُنَّ فَمُهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَاكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا
“Dari Ibnu 'Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiah) dari (rumah mereka) di Makkah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
5)      Dzatu ‘Irq : Miqat untuk penduduk Irak dan yang berasal dari arah timur. Tempat ini terletak di dekat “Al Aqiq”.[7]
Miqat-miqat ini sebagai tempat awal bagi para penduduknya untuk memakai ihram. Demikian pula semua orang yang lewat di sana yang bukan warganya, tetapi hendak beribadah haji dan umrah. Barangsiapa melampaui miqat tanpa ihram, harus kembali ke miqat itu dan melakukan ihram dari sana. Karena hal itu adalah kewajiban yang bisa didapatkannya, tidak boleh meninggalkannya. Jika ia tidak kembali ke miqat itu, ia wajib membayar fidya dengan menyembelih seekor kambing atau mengambil sepertujuh onta gemuk atau sepertujuh sapi gemuk dan membagikan dagingnya kepada orang-orang miskin di Tanah Haram dan tidak memakannya sedikit pun.
Wajib atas setiap muslim untuk selalu memperhatikan perkara-perkara agamanya, yakni melakukan setiap ibadah dengan cara-cara yang disyari’atkan. Di antaranya adalah memakai pakaian ihram untuk berhaji atau umrah, wajib dari tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW, dan setiap muslim harus mengikatkan diri dengan itu dan tidak melampauinya dengan tidak berpakaian ihram.
Bagi jamaah haji Indonesia, pertama, jika berkesempatan untuk mampu berada di Zulhulaifah, Juhfah, Qarnul manazil atau Yalamlam, tempat-tempat itulah miqat makaninya sesuai dengan hadits. Kedua, jika tidak mampu datang ke salah satu dari empat tempat tersebut, maka tempat mana saja boleh dijadikan sebagai miqat makani, asalkan lokasinya di luar tanah Haram dan menyediakan fasilitas untuk persiapan berihram.[8]
Bagi jemaah haji Gelombang Pertama yang ke Madinah dahulu sebelum ke Makkah, miqat makani mereka sudah tentu di Dzulhulaifah, tempat miqat Rasulullah s.a.w. ketika beliau menunaikan haji. Nama Dzulhulaifah tidak dipakai lagi, sebab tempat itu kini bernama Bi’r (Abyar) Ali, sebagaimana nama Sunda Kalapa dan Batavia (Betawi) sekarang berubah menjadi Jakarta. Para jemaah haji mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian ihram pada pondokan masing-masing di Madinah. Kendaraan akan mampir di Bi’r Ali (Dzulhulaifah) kira-kira setengah jam, agar jemaah haji menunaikan shalat sunnah ihram. Di Bi’r Ali, ketika kendaraan mulai bergerak ke arah Makkah, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”
Bagi jemaah haji Gelombang Kedua yang langsung ke Makkah, miqat makani mereka yang paling ideal sampai saat ini adalah Bandar Udara Raja Abdul Aziz, yang populer dengan singkatan KAA Airport (King Abdul Aziz Airport). Di bandara megah ini tersedia hamparan karpet tempat istirahat yang luas, fasilitas mandi dengan air yang berlimpah, serta para petugas orang Indonesia yang siap membantu, sehingga para jemaah haji dengan leluasa mandi, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan menunaikan shalat sunnah ihram. Kenyataannya, sebagian besar jemaah haji dari berbagai negara mulai berihram di KAA Airport. Sedikit sekali jemaah yang turun dari pesawat udara dalam keadaan berihram. Di KAA Airport, ketika kendaraan mulai bergerak ke arah Makkah yang hanya satu jam perjalanan, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”
KAA Airport jelas berada di luar Tanah Haram, dan jalur penerbangan kita dari tanah air sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Menurut ketentuan pemerintah Arab Saudi yang disahkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization), badan PBB yang mengatur penerbangan sipil antarbangsa, setiap pesawat udara dari kawasan Asia dan Pasifik harus datang dari arah timur laut, melewati kota Dafinah (23 16’ N, 41 51’ E), lalu menurunkan ketinggian di atas kota Nasir (22 14’ N, 40 04’ E), dan mendarat di KAA Airport (21 41’ N, 39 10’ E). Bandara ini terletak di utara Jeddah (21 29’ N, 39 10’ E), dan cukup jauh dari Makkah (21 28’ N, 39 55’ E). Di sekitar garis Tropic of Cancer, 1 derajat North = 111 km (1’ = 1,85 km) dan 1 derajat East = 108 km (1’ = 1,80 km). Maka dengan eksak dapat kita hitung bahwa KAA Airport berjarak lurus 22 km di utara Jeddah dan berjarak lurus 84,5 km di barat laut Makkah.
Jalur penerbangan dari tanah air kita ke KAA Airport juga sama sekali tidak lewat di atas salah satu dari empat tempat miqat yang disebutkan dalam hadits. Dari empat tempat miqat tersebut, yang relatif paling dekat dengan jalur penerbangan adalah Qarnulmanazil (21 37’ N, 40 25’ E). Seperti nama Dzulhulaifah, nama Qarnulmanazil tidak dipakai lagi. Tempat itu kini bernama As-Sayl al-Kabir, dan ternyata sangat jauh dari jalur penerbangan. Garis lurus dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan membentuk sudut siku-siku tepat pada kota Nasir. Dengan demikian, jarak dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan (kota Nasir) secara eksak dapat kita hitung, yaitu 78,2 km, lebih jauh dari jarak lurus Qarnulmanazil ke Makkah yang cuma 56,5 km.[9]

C.      Kepada Siapa Di Badalkan ?
Dalam konteks uraian tentang badal haji, terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa mayoritas ulama (kecuali ulama-ulama bermazhab Maliki) membenarkan menghajikan orangtua ataupun orang lain, dengan syarat bahwa yang akan dihajikan itu telah uzur sehingga diduga keras ia tidak mampu lagi untuk menunaikannya, atau bahkan telah meninggal dunia. Sebagaimana sabda Rasullah SAW :
اَنَّ ا مْرَاَةَ خَتْعَمٍ قَالَتْ : يَارَسُوْلَ الله ، اِنَّ فَرِيْضَةَ الله عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ اَدْرَكْتُ اَبِيْ شَيْخًا كَبِيْرًا لَايَسْتَطِيْعُ اَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَّاخِلَةِ اَفَا حُجَّ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمُ.
Artinya : “Bahwa seorang wanita dari Khas’am bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, salah satu kewajiban Allah kepada hamba-Nya adalah haji. Ayah saya sekarang sudah sangat tua, tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan. Apakah aku boleh menunaikan ibadah haji atas namanya?” “Boleh,” jawab Rasulullah”. (HR. Malik, as-Syafi’i, dan Bukhari).
Adapun hadits yang berkaitan dengan diperbolehkannya orang yang telah meninggal untuk dihajikan adalah dari Ibnu Abbas RA.
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya : “Diriwayatkan  bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?”. Beliau menjawab: “Tunaikanlah haji untuknya”. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar”.(HR. Bukhari)
Mazhab Imam Malik hanya membenarkan menghajikan orang yang telah meniggal dunia—bukan yang uzur—itupun kalau almarhum semasa hidupnya telah mewasiatkan agar dihajikan, dan dengan syarat menggunakan biaya dari harta yang ditinggalkannya selama tidak melebihi sepertiga. Namun demikian, walaupun hal ini dibenarkan oleh ulama mazhab Maliki, mereka tidak mengenjurkannya, bahkan menilainya makruh, dalam arti tidak dianjurkan oleh agama.[10]
Selayaknya ibadah-ibadah lain dalam islam, dalam badal haji pun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu:
a.         Fisik orang yang dibadalkan terus menerus berada dalam kondisi lemah hingga akhir hayatnya.
b.         Ibadah haji tersebut diniatkan atas nama orang yang diwakilkan.
c.         Semua biaya harus ditanggung oleh orang yang dihajikan.
d.        Hendaknya orang yang mengerjakan ibadah haji dilakukan sesuai dengan permintaan.
e.         Perwakilan haji ini hanya berlaku untuk satu orang. Dengan demikian, maka orang yang menggantikan dua orang sekaligus maka  hajinya tidak sah.
f.          Disyaratkan bagi orang yang menggantikan harus dewasa, berakal, merdeka dan laki-laki.
g.         Disyaratkan pula si pengganti telah menunaikan ibadah haji. Hal ini didasarkan pada pendapat madzhab Syafi’i dan Hambali, Orang yang menggantikan harus melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji dengan sempurna. Jika ada kesalahan yang dilakukannya sehingga faedah tersebut menjadi batal atau rusak, ia harus menggantinya. Sebagaimana pada hadist Nabi dari Ibnu Abbas ra.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Artinya : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalla Allahu 'alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan “Labbaika ‘an Syubrumah” (ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya: "Siapakah Syubrumah tersebut?" Dia menjawab; saudaraku! Atau kerabatku! Beliau bertanya: "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?" Dia menjawab; belum! Beliau berkata: "Laksanakan haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.”(HR. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Sedangakan menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang yang belum haji boleh menghajikan orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya sendiri.[11]
Jelaslah, bahwa sahnya ibadah haji seseorang tidak tergantung orang yang bersangkutan harus melakukan sendiri, melainkan bisa dilakukan oleh anaknya atau saudaranya atau orang lain. Demikian pula biaya hajinya tidak harus dikeluarkan dari hartanya sendiri, melainkan bisa dibayar oleh anaknya, orang lain, atau oleh suatu lembaga pemerintah atau swasta dengan tugas atau tanpa tugas; termasuk biaya hajinya yang didapat melalui undian berhadiah. Sebab yang menentukan sah/tidaknya ibadah haji itu adalah dipenuhi/tidaknya syarat dan rukunnya haji, sedangkan pembayaran biaya haji oleh yang bersangkutan sendiri bukan termasuk rukun dan syarat syahnya haji.
Namun demikian, uang yang dipakai untuk keperluan haji dan sebagainya harus dari harta yang halal agar hajinya dapat diterima oleh Allah SWT sebagai haji mabrur, sebagaimana dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَايَقْبَلُ اِلَّاطَيِّبًا.
Artinya : “Sesungguhnya Allah itu baik, ia tidak mau menerima kecuali yang baik.
Perlu diketahui, bahwa nilai ibadah haji seseorang atau dengan kata lain tingkatan kemabruran hajinya adalah tergantung kepada hal-hal sebagai berikut :
1.      Baik/tidaknya niat melakukan haji, misalnya ikhlas karena Allah, atau untuk riya, atau untuk tujuan politik.
2.      Sempurna/tidaknya melaksanakan rukun-rukun haji dan kewajiban-kewajibannya.
3.      Mampu/tidaknya meninggalkan hal-hal yang dilarang dilakukan selama ibadah haji, terutama larangan bicara yang tidak senonoh, larangan berbuat maksiat, dan larangan bertengkar, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 197 :
kptø:$# ֍ßgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4 `yJsù uÚtsù  ÆÎgŠÏù ¢kptø:$# Ÿxsù y]sùu Ÿwur šXqÝ¡èù Ÿwur tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz çmôJn=÷ètƒ ª!$# 3 (#rߊ¨rts?ur  cÎ*sù uŽöyz ÏŠ#¨9$# 3uqø)­G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ  
Artinya : (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.
4.      Banyak/sedikit dalam melakukan sunnah dalam ibadah haji. Misalnya, mandi, shalat dua raka’at, membaca takbir dan tahlil waktu melihat ka’bah, membaca talbiyah dan sebagainya.[12]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Badal secara lughawi berarti mengganti, merubah atau menukar. Dengan demikian yang dimaksud haji badal adalah ibadah haji seseorang yang pelaksanaannya diwakilkan atau digantikan oleh orang lain menurut syarat-syarat tertentu. Para ulama sepakat tentang kebolehan membadal haji, namun menurut madzhab Maliki tidak mewajibkan selama orang tersebut tidak berwasiat.
Dengan kata lain, haji badal muncul berkaitan dengan seseorang yang telah dikategorikan wajib haji (terutama dari segi ekonomi) tapi tidak mampu melakukannya sendiri karena adanya halangan yang dilegalkan oleh syariat Islam. Maka dapat dipahami bahwa haji badal dilakukan dalam salah satu dari dua kondisi; ketika yang diwakilkan masih hidup atau yang diwakilkan telah meninggal dunia.
Sahnya ibadah haji seseorang tidak tergantung orang yang bersangkutan harus melakukan sendiri, melainkan bisa dilakukan oleh anaknya atau saudaranya atau orang lain. Demikian pula biaya hajinya tidak harus dikeluarkan dari hartanya sendiri, melainkan bisa dibayar oleh anaknya, orang lain, atau oleh suatu lembaga pemerintah atau swasta dengan tugas atau tanpa tugas; termasuk biaya hajinya yang didapat melalui undian berhadiah. Sebab yang menentukan sah/tidaknya ibadah haji itu adalah dipenuhi/tidaknya syarat dan rukunnya haji, sedangkan pembayaran biaya haji oleh yang bersangkutan sendiri bukan termasuk rukun dan syarat syahnya haji.

B.       Saran
Pemakalah sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, jadi pemakalah berharap kepada pembaca terutama dosen pembimbing untuk memberikan masukan dan saran yang mendukung.


Tidak ada komentar: